KRIMINALISASI DAN DISKRIMINASI TERHADAP PETANI MISKIN

SAPA – Sudah hampir 15 tahun masyarakat miskin yang berada di Desa Sukamukti, Dangiang dan Mekarmukti, Kecamatan Cilawu menggarap lahan diatas tanah eks HGU PTPN VIII Dayeuh manggung dan telah berdampak terhadap peningkatan ekonomi sosial masyarakat dan tanah tersebut merupakan tumpuan hidup masyarakat karena tidak ada lagi alternatif untuk dapat menghidupi keluarga.

Dari tanah seluas kurang lebih 8.200 Ha dimana pada tahun 2009 tanah yang diperpanjang HGUnya sekitar 7800 Ha, sisanya sekitar 420 Ha sampai sekarang tidak diperpanjang dari tanah yang tidak diperpanjang tersebut hanya 200 Ha digarap oleh masyarakat sebanyak 600 KK dengan rata rata 30 tumbak per KK yang ditanami palawija, tanaman keras dan akarwangi.

Permasalahan konflik tanah antara perkebuanan dayeuhmanggung dengan masyarakat penggarap dikarenakan pihak perkebunan masih mengklaim tanah garapan adalah milik PTPN VIII Dayeuhmanggung padahal HGUnya sudah habis dan sampai saat ini belum ada perpanjangan, sementara masyarakat sangat membutuhkan tanah tersebut untuk dapat menghidupi keluarganya.

Pada tanggal 16 Oktober 2012 sdr Entis anggota SPP ditangkap oleh polisi Polres Garut dan dibawa langsung ke MAPOLDA JABAR, dan tanggal 6 November 2012 sdr Mina dengan juga ditangkap dengan tuduhan merusak tanaman teh, dan sebagaian penggarap di teror untuk menyerahkan garapannya kepada pihak PTPN VIII Dayeuhmanggung serta harus menyatakan keluar dari organisasi, tindakan tersebut sudah tidak sesuai lagi pada era reformasi saat ini dan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28E ayat 3 tentang kebebasan berserikat.

Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pemerintah daerah tidak pernah memberikan akses reform kepada penggarap yang sudah menggarap 15 tahunan, karena dianggap penjarah tanpa melihat latar belakang mereka sebagai penggarap. Kalau seandainya mereka mempunyai alternatif usaha lain sangat tidak mungkin mereka menggarap dengan penuh resiko.

Dan kalau pemerintah daerah cermat dengan melihat latar belakang dan kondisi penggarap justru bantuan pertanian harus diprioritaskan kepada petani penggarap yang tidak mempunyai tanah milik, kerena menunjukkan mereka sangat tidak mampu, dibanding memberi bantuan kepada petani yang mempunyai tanah milik, karena petani yang mempunyai tanah milik bisa mengaggunankan ke Bank untuk mendapatkan modal bertani, diskriminasi tersebut sudah berlangsung lama sampai sekarang yang diberi bantuan modal, pupuk dan sarana lainnya hanya bisa dinikmati oleh petani yang jelas bukti kepemilikan tanahnya.

Yudi Kurnia Korda SAPA Kabupaten Garut

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *