Transparansi Anggaran: Langkah Kecil Dengan Dampak Besar | Best Practises

Sejak era reformasi, gaung tentang good governance selalu menjadi
kata “magis” yang disuarakan oleh media massa, diseminarkan dalam
berbagai forum yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, di
tingkat nasional bahkan daerah. Namun dalam prakteknya, apakah Anda
pernah dihadapkan pada kondisi seperti ini: Sulit mendapatkan dokumen
kebijakan daerah, sulit untuk terlibat dalam menentukan kebijakan
pembangunan di daerah, serta sulit mendapatkan informasi tentang
anggaran pembangunan. Jika anda pernah mengalami kondisi tersebut,
maka patut diduga bahwa Anda sedang menghadapi kondisi pemerintahan
yang bad governance. Sejak era otonomi daerah diberlakukan pada
tahun 1999, salah satu tantangan pelaksanaan desentralisasi adalah
bagaimana mewujudkan transparansi pemerintahan. Di masa-masa
awal desentralisasi banyak daerah yang menginisiasi peraturan daerah
tentang tranparansi, baik pada level proses penganggaran, perumusan
kebijakan, hingga menjamin kepastian terhadap partisipasi warga dalam
perencanaan pembangunan. Sebenarnya regulasi atau kebijakan yang di
buat oleh pemerintah daerah telah diatur atau dijamin dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan diperkuat lagi dengan
kehadiran UU keterbukaan Informasi Publik pada tahun 2009. Walaupun
demikian, harapan untuk mewujudkan transparansi dalam pemerintahan
masih jauh panggang dari api.

Salah satu sebab yang disinyalir menjadi hambatan dalam mewujudkan
transparansi dalam pemerintahan adalah tidak adanya sanksi. Hampir
seluruh perda transparansi yang dibuat mencantumkan dengan
sangat detil tentang tahapan, serta pengaturan terhadap transparansi
berbagai aspek pemerintahan di daerah, namun regulasi tersebut tidak
mencantumkan sanksi jika pemerintah daerah tidak melaksanakan
hal tersebut. Hal inilah yang menyebabkan perwujudan transparansi
bukanlah suatu keharusan melainkan lebih banyak bertumpu pada
kebaikan hati dari pimpinan dan kelembagaan pemerintah di daerah.
Kondisi pemerintahan di Kota Surakarta sebelum tahun 2005 boleh
dikatakan hampir sama dengan daerah lainnya di Indonesia. Transisi
perubahan dari budaya otoritarian kepada reformasi masih disikapi
dengan gamang dan mencari bentuk yang paling tepat dalam menjalankan
roda pemerintahan yang lebih berpihak pada masyarakat. Serupa dengan
daerah lainnya di Indonesia, tuntutan agar pemerintahan daerah lebih
terbuka dan transparan di inisiasi oleh gerakan masyarakat sipil lewat
berbagai forum baik yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pun
di tingkat masyarakat. Pada tahapan ini, organisasi masyarakat sipil
mempelopori dan mempublikasikan kebijakan pembangunan, alokasi
anggaran pembangunan, sembari melakukan kritik terhadap kebijakan
pembangunan dan penganggaran tersebut melalui media massa cetak
dan elektronik. Seringkali upaya tersebut menimbulkan konflik antar
organisasi masyarakat sipil dan pemerintah daerah, bahkan dalam
beberapa kasus seringkali juga menimbulkan konflik horizontal yang
melibatkan masyarakat. Karena dianggap publikasi tersebut menjelekjelekan
pimpinan daerah.

Berubahnya kepemimpinan daerah di Kota Surakarta merupakan suatu
momentum yang tepat untuk melakukan perubahan, tidak terkecuali yang
terkait dengan upaya untuk mewujudkan transparansi dan keterlibatan
masyarakat dalam pembangunan. Serangkaian dialog dilakukan antara
organisasi masyarakat sipil dan pemerintah daerah untuk memahami
bagaimana mewujudkan dan menghadirkan transparansi dalam
pemerintahan. Salah satu hal yang disepakati adalah mempublikasikan
alokasi anggaran pembangunan setiap tahunnya kepada masyarakat pada
tingkat kelurahan. Berbeda dengan daerah lainnya yang menerjemahkan
transparansi anggaran dengan mengumumkan item atau besaran
APBD secara umum pada media cetak. Pemerintah Kota Surakarta
memilih untuk menginformasikan besaran anggaran dan kegiatan yang
dilakukan dan diterima oleh setiap kelurahan dalam bentuk poster yang
ditempelkan pada ruang publik yang mudah diakses oleh masyarakat.
Setiap warga masyarakat di suatu kelurahan dapat mengetahui berapa
alokasi anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan di kelurahan,
program atau kegiatan apa saja yang akan dilakukan, serta siapa yang
melaksanakan kegiatan tersebut. Pada tahap awal publikasi alokasi
anggaran dan kegiatan di tingkat kelurahan ini dilakukan oleh organisasi
masyarakat sipil, namun setelah itu, kegiatan ini didanai sepenuhnya oleh
pemerintah daerah.

Pada awalnya upaya ini memang tidak berjalan dengan baik, dukungan
dari birokrasi dapat dikatakan belum sepenuhnya mendukung upaya
tersebut. Diakui oleh Wakil Walikota Solo Bapak FX Hadirudyatmo upaya
mendorong hal tersebut tidaklah mudah, kami meyakinkan birokrasi
bahwa kami tidak menginginkan birokrasi yang ABS (asal bapak senang),
yang kami butuhkan adalah birokrasi yang profesional dalam membantu
walikota dan wakil walikota dalam mewujudkan visi dan misi yang telah
dijanjikan pada masyarakat secara keroyokan (baca bekerja sama).
Oleh karena itu, kami selalu menekankan dalam setiap kesempatan,
agar birokrasi harus mewujudkan secara konkrit kebijakan yang akan
dilaksanakan, jangan karena waton suloyo.

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Kota Surakarta sebenarnya
sangat sederhana dan dapat juga dilakukan oleh kabupaten/kota lainnya
di Indonesia yaitu dengan membangun komunikasi secara intensif dengan
kepala SKPD maupun dengan masyarakat sehingga bisa mendapatkan
informasi secara berimbang dan tidak berat sebelah, langkah kedua
adalah dengan melakukan koordinasi secara teratur terutama yang
terkait dengan permasalahan lintas SKPD, langkah ketiga adalah mencari
solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan juga dapat diterima
oleh masyarakat, serta memberikan dampak/resiko yang seminim
mungkin bagi masyarakat miskin. Langkah keempat adalah dengan
melakukan sosialisasi terhadap kebijakan tersebut agar dapat diterima
dan dipahami oleh seluruh pihak. Langkah kelima adalah merealisasikan
kebijakan tersebut sesuai dengan langkah-langkah yang telah disepakati,
serta yang terakhir adalah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
kebijakan tersebut dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

Terkait dengan langkah transparansi penganggaran yang dilakukan oleh
pemerintah Kota Surakarta, upaya yang dilakukan oleh pemerintah Kota
Surakarta setidaknya bukan hanya menjadi keinginan (good will), tetapi
juga diwujudkan secara nyata dalam pemerintahan. Selain itu, masyarakat
dilibatkan dalam mengawasi pelaksanaan program pembangunan
dan mengurangi kleptokrasi atau penyimpangan yang dilakukan oleh
birokrasi. Selain itu, pemerintah daerah juga mendapatkan input dalam
memperbaiki dan menyelesaikan permasalahan pembangunan secara
terukur dan tepat sasaran. Inovasi yang dilakukan oleh pemerintah Kota
Surakarta jelaslah bukan suatu upaya yang dilakukan dalam waktu
singkat, akan tetapi membutuhkan proses dan pentahapan. Terkait
dengan hal tersebut Wakil Walikota Surakarta selaku ketua TKPKD
menyarankan agar upaya transparansi dapat diwujudkan di daerah lain,
maka pimpinan daerah perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Memahami karakter birokrasi yang dipimpinnya.

2. Membangun proses yang partisipatif baik pada tingkat birokrasi
maupun di tingkat masyarakat.

3. Berani mengambil langkah serta melakukan koreksi terhadap kebijakan
maupun terhadap implementasi pelaksanaan kebijakan tersebut.

4. Mempunyai keberanian dalam merealisasikan ide-ide perubahan
tersebut secara nyata dan terukur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *