Kualitas Perempuan NTB, antara Perceraian dan Kemiskinan

sapa.or.id – Ketidakberdayaan Perempuan di NTB masih saja terjadi. Perempuan-perempuan yang ditinggal suami karena berbagai alasan selalu memberikan mimpi buruk bagi kaum perempuan. Selalu pihak perempuan yang menanggung akibatnya. Kaum perempuan NTB selama ini dipandang identik dengan kemiskinan. Mereka menikah pada usia dini dan tidak sedikit yang menyandang buta aksara.

Dominasi keluarga lebih banyak dimiliki kaum suami. Akibatnya, sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung pada perceraian. Sepanjang tahun 2011, terdapat 3.231 kasus perceraian diantaranya akibat suami yang tidak bertanggung jawab mencapai 925 kasus, tidak ada keharmonisan 721 kasus, karena cemburu 382 kasus, akibat ekonomi 369 kasus, gangguan pihak ketiga 260 kasus.
Di bidang ketenagakerjaan sebagian besar perempuan NTB bekerja di sektor informal dengan upah yang rendah. Minat menjadi tenaga kerja wanita cukup tinggi, tapi tidak diimbangi dengan keterampilan yang memadai.

Sementara itu pada bidang pendidikan, perempuan NTB yang buta huruf mencapai 202.431 orang atau masih lebih tinggi bila dibandingkan 113.769 laki-laki yang buta huruf. Di bidang kesehatan, angka kematian ibu melahirkan sesuai Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2003 mencapai 360 per 100.000 kelahiran hidup. Padahal angka nasional 228 per 100.000.

Angka kematian bayi yaitu 72 per 1.000 kelahiran hidup sedangkan nasional 35 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini di Kabupaten Lombok tengah menurun dari tahun ke tahun, pada tahun 2008 terdapat 18 kasus kematian ibu melahirkan yang kemudian turun hingga angka 0 pada tahun 2009. Namun pada tahun 2010 meningkat menjadi 20 kasus dan telah berubah menjadi 11 kasus pada tahun 2011. Sedangkan jumlah kematian ibu nifas menunjukkan peningkatan dari 0 pada tiga tahun terakhir menjadi 4 orang di tahun 2011.
Mengapa semua ini terjadi?  Bila Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana NTB mengklaim bahwa semua ini berawal dari rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan perempuan yang berdampak pada rendahnya tingkat pendapatan masyarakat.

Lain lagi dengan Mantan Wakil Presiden Indonesia, Yusuf Kalla mengklaim bahwa pemerintah kurang agresif menyiapkan lapangan kerja bagi kalangan masyarakat miskin sambil menata lembaga pendidikan agar menyiapkan SDM yang kuat.  Para perempuan harus mendapatkan pendidikan yang memadai sehingga mampu mandiri dan dapat menata hidupnya dengan lebih baik.
Menyadari fenomena tersebut, memang dibutuhkan penanganan serius tentang eksistensi perempuan dalam pembangunan. Peningkatan kualitas perempuan adalah program wajib dan tidak boleh ditawar-tawar.

Pendidikan yang memadai dan keterampilan yang dapat melepaskan mereka dari ketergantungan harus ditanamkan. Kesempatan perempuan untuk berkiprah harus dibuka selebar-lebarnya. Demikian pula, penguatan lembaga pernikahan melalui aturan-aturan yang mengikat kuat harus segera disosialisasikan. Semoga!!!

Sumber : Siti Sanisah Korda NTB

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *