UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PERKOTAAN

SAPA – Kemiskinan di Indonesia merupakan persoalan mendesak yang membutuhkan penanganan segera, tidak hanya di pedesaan tetapi juga di wilayah perkotaan, terutama di Aceh. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Juli 2012 lalu, persentase penduduk miskin di Aceh pada Maret 2012 sebesar 19,46%. Angka ini menurun dibandingkan dengan Maret 2011 yaitu sebesar 19,57%. Selama periode Maret 2011-Maret 2012, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan menurun 0,62% (dari 13,69% menjadi 13,07%).

Satu ciri menonjol masyarakat miskin adalah tidak adanya akses ke sarana dan prasarana dasar lingkungan yang ditandai dengan kualitas perumahan dan permukiman yang jauh di bawah standar kelayakan, seperti buruknya sanitasi dan akses kesehatan. Kondisi ini selain merupakan implikasi dari ketidakpastian pendapatan dari mata pencaharian mereka, juga diakibatkan oleh minimnya lapangan kerja dan rendahnya tingkat pendidikan.

Melihat permasalahan kemiskinan tidak cukup pada gejala-gejala fisik yang tampak dari luar dan satu sektor saja. Persoalan kemiskinan harus ditinjau secara utuh dan multidimensi baik dimensi politik, sosial, ekonomi, dan aset. Berbekal cara pandang demikian diharapkan kemiskinan tertangani lebih mendalam dan menyeluruh. Pemerintah melalui dinas-dinas bersama dunia usaha, perguruan tinggi, pers dan LSM harus bergerak bahu-membahu mengupayakan penanggulangan kemiskinan dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif sebagai subyek pembangunan.

Terobosan kebijakan

Berpijak dari kondisi tersebut pemerintah melakukan terobosan kebijakan dalam mengurangi kemiskinan dengan berbagai alternatif solusi pemecahan masalah melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. PNPM Mandiri Perkotaan termasuk satu motor penggeraknya dan merupakan program payung (umbrella policy) untuk mensinergikan berbagai program pemberdayaan masyarakat.

Tahun ini merupakan tahun ke-6 pelaksanaan PNPM Mandiri sejak dicanangkan pada 2007. Selama enam tahun tersebut, PNPM Mandiri khususnya PNPM Mandiri Perkotaan di Aceh telah menunjukkan peran yang signifikan dalam mengasah dan mengasuh masyarakat untuk menjadi berdaya, mandiri dan selanjutnya diharapkan menjadi madani yang ditandai dengan kemampuannya bermitra secara sejajar dengan lembaga lainnya dalam melaksanakan fungsi pemberdayaan masyarakat dalam aspek ekonomi, politik, sosial dan kultural.

Program ini telah membuka peluang bagi masyarakat miskin untuk bisa mengakses informasi dan kesempatan untuk ikut serta merencanakan, melaksanakan serta mengevaluasi program di wilayah kelurahannya. Mereka berpartisipasi aktif dalam program ini sebagai relawan masyarakat, anggota Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), dan Anggota Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Landasan keterlibatan mereka dalam program ini adalah sifat-sifat baik berdasarkan pada nilai dan prinsip kemanusiaan universal seperti kejujuran, keikhlasan, keadilan, kebersamaan serta kesetaraan dalam keragaman.

PNPM Mandiri Perkotaan dilaksanakan dengan tujuan mencapai keberlanjutan perbaikan kesejahteraan masyarakat miskin melalui proses pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan pengokohan kelembagaan masyarakat di tingkat basis yakni Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang diharapkan mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin dalam menyuarakan aspirasi dan kebutuhan mereka, sekaligus menjadi lokomotif upaya penanggulangan kemiskinan yang dijalankan oleh masyarakat secara mandiri dan berkelanjutan.

Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan sejak 2007 di Aceh telah mendorong terjadinya tranformasi sosial dari masyarakat tidak berdaya menjadi masyarakat berdaya, mandiri dan akhirnya madani. Intervensi yang dilakukan dalam mendorong transformasi tersebut selain program reguler juga dilakukan melalui program tambahan di antaranya Peningkatan Penghidupan Masyarakat Berbasis Komunitas (PPMK) dan program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK).

Kedua program tersebut merupakan komponen PNPM Mandiri Perkotaan, yang difokuskan pada Peningkatan Mata Pencaharian bagi warga miskin yang terhimpun dalam KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) dan terfokus pada penataan lingkungan permukiman yang sehat. Program ini merupakan kelanjutan intervensi PNPM Mandiri Perkotaan dari tahap ‘berdaya’ ke tahap ‘mandiri’.

Program PPMK bertujuan meningkatkan pendapatan masyarakat miskin secara berkesinambungan yang bertumpu pada pengembangan mata pencahariannya melalui: Pertama, peningkatan kapasitas keluarga miskin dalam kegiatan ekonomi produktif; Kedua, peningkatan kapasitas kelembagaan KSM, dan; Ketiga, peningkatan pelayanan keuangan mikro untuk masyarakat miskin.

Semakin meningkat

Diharapkan melalui program PPMK ini akan semakin besar jumlah warga miskin yang dapat meningkat pendapatannya, sehingga tingkat kesejahteraannya juga semakin meningkat. Di Aceh terdapat 51 gampong yang mendapat program ini yang terdiri dari 255 Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan ditentukan melalui proses seleksi dari gampong sampai tingkat provinsi.

Sedangkan program PLPBK bertujuan mewujudkan masyarakat yang hidup secara harmonis dalam lingkungan yang aman, tertib, sehat, produktif, berjati diri dan lestari (sustainable), dengan mewujudkan good governance pada tingkat lokal (gampong), kemitraan sinergis antara pemerintah daerah, masyarakat dan kelompok peduli, serta mewujudkan masyarakat yang berperilaku dan berbudaya yang mampu secara kreatif dan inovatif melakukan penyelenggaraan penataan lingkungan permukiman mereka.

Aceh terdapat 4 kota/kabupaten yang mendapat program ini yang terdiri dari 15 desa/gampong yang ditentukan melalui proses seleksi tingkat gampong sampai tingkat pusat. Dari program pengentasan kemiskinan tersebut, jelas terlihat nyata bahwa Pemerintah Aceh begitu mendukung upaya pengentasan kemiskinan tersebut.

Wujud nyata itu tidak hanya diperlihatkan dalam bentuk kata-kata, tetapi juga dukungan anggaran yang dituangkan dalam APBK masing-masing kota/kabupaten. Semua ini juga tergantung dengan masyarakatnya, sebab pengentasan kemiskinan tak akan berarti apa-apa apabila masyarakat sendiri tidak mendukungnya. Program itu akan sia-sia kalau masyarakat diam, hanya mau menerima tanpa berbuat atau berinteraksi terhadap program tersebut.

Sumber : Serambi Indonesia

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *