PENDIDIKAN SEBAGAI ALAT TRANSFORMASI SOSIAL

sapa.or.id – Pendidikan di belahan dunia manapun bukan hanya sekedar hak azasi manusia, tetapi juga sebagai alat strategis untuk membangun masyarakat. Jadi, apa yang terjadi ketika pembangunan telah kehilangan arah, atau ketika pembangunan tidak lebih dari proses pemiskinan ekonomi?

Apa yang terjadi ketika tujuan pembangunan bukan untuk meningkatkan standar hidup manusia dalam keselarasan dengan alam, tapi untuk meningkatkan efisiensi dan profitabilitas korporasi, sekalipun dengan kerusakan ekologis dan sifat kemanusiaannya terus-menerus?

Apa yang terjadi ketika tujuan strategis model pembangunan kita tidak mendorong kesetaraan, kebebasan dan martabat manusia, melainkan mereproduksi dan memperdalam ketidaksetaraan, yang dibasiskan pada akumulasi kekayaan, atau menghasilkan bentuk baru perbudakan seperti jeratan utang dan obat-obatan (narkoba)?
Apakah kemudian kami membiarkan sistem pendidikan kami menjadi alat reproduksi sosial dan ideologis bagi model pembangunan seperti itu? Ataukah kita ingin merancang sistem pendidikan baru yang bekerja sebagai alat nyata untuk transformasi sosial?

Melawan Model Pembangunan Neoliberal

Di Chile, gerakan mahasiswa, juga pendidikan sosial, jelas memilih yang terakhir

Di negara kami, bukan hanya hak dasar kami atas pendidikan tidak dijamin di dalam konstitusi politik, sebab konstitusi sekarang mengutamakan “kebebasan berusaha” (freedom of enterprise), tetapi desain sistem pendidikan kami justru dimaksudkan untuk memelihara dan mereproduksi model ekonomi neoliberal yang diberlakukan sejak kediktatoran militer berkuasa di tahun 1973.

Bukan kebetulan bahwa gerakan sosial yang bangkit di Chile, setidaknya dari 2010 hingga sekarang, selain mengajukan tuntutan-tuntutan yang bersifat spesifik, semuanya juga mempertanyakan model pembangunan kita.
Yang terjadi, realitas yang dijanjikan sejak 30 tahun yang lalu tidak terpenuhi oleh model pembangunan itu. Kenyataan material ini justru ada kaitannya dengan masalah ketimpangan, menyebabkan jutaan orang dalam jeratan utang, sementara beberapa orang menikmati keuntungan dengan mengorbankan jutaan orang.

Chile menjadi salah satu negara dengan level ketimpangan tertinggi di dunia. Menurut data dari SOL Foundation, sebuah organisasi non-profit yang melalukan investigasi dalam dunia ketenagakerjaan di Chile, ketimpangan antara si kaya dan si miskin meningkat 46 kali sejak tahun 1980-an.

Sejak tahun 1990an, pertumbuhan ekonomi produktif mencapai 80%, sementara upah buruh hanya meningkat 20%. Sebanyak 46% penduduk berpenghasilan di bawah upah minimum (kurang dari 400 dollar AS) dan 2 dari 3 orang Chile yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah pekerja bergaji.

Yang terjadi, di Chile, sejak model neoliberalisme yang dipaksakan, dan kemudian dikukuhkan oleh Washington Consensus, ketidaksetaraan telah meningkat dan hak-hak dasar rakyat direduksi menjadi kepentingan bisnis dan menjadi hak istimewa segelintir orang.

Karena mereka (rakyat) tak cukup upah untuk hidup, tenaga kerja dipaksa meminjam dari bank swasta untuk membiayai pendidikan, kesehatan, makanan, pakaian, dan layanan dasar keluarga lainnya.
Berhadapan dengan realitas ini, yang tidak pernah disebutkan dalam pidato resmi tentang betapa hebatnya kebijakan makro-ekonomi kita, kami yakin bahwa pendidikan bukan dirancang untuk mengurangi ketimpangan, melainkan mereproduksi dan memperdalamnya.

Privatisasi pendidikan

Pada tahun 1980, di tengah-tengah kediktatoran militer dan tanpa mandat rakyat, negara direduksi menjadi pelengkap saja, memberi pasar kekuasaan dan sumber daya untuk mengubah pendidikan dan hak paling dasar lainnya menjadi bisnis yang menguntungkan. Pendidikan publik ditelantarkan, dan pendidikan swasta mengalami limpahan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Saat ini, pendidikan publik kekurangan dana. Pada tingkat sekolah, dana ini hanya senilai 30% dari bea pendaftaran total dan pendidikan tinggi negeri kurang dari 20%, penurunan yang dari tahun ke tahun disebabkan oleh perkembangan langkah-langkah dan reformasi di sektor komersial. Universitas negeri rata-rata menerima kurang dari 15% dari anggaran mereka dari Negara, dan keluarga pun praktis membayar biaya-biaya ini melalui sumber daya mereka secara langsung (rata-rata 30.000 dolar per sarjana), atau melalui utang (yang bisa melambungkan biayanya sampai 200%).

Sistem swasta tumbuh tanpa regulasi. Investor dari Chile dan negara lain di dunia memasukkan modal mereka ke dalam bisnis besar dan menguntungkan, yang memberi pendidikan kami ke mereka, tanpa peduli dengan penipuan yang dibuat oleh lembaga-lembaga tersebut.

Subsidi berdasarkan permintaan, melalui skema pembiayaan bersama (keluarga dan negara) dan kompetisi tidak seimbang antara pendidikan publik dan swasta, menyebabkan pendidikan di Chile bukan hanya diantara yang paling mahal di dunia, tetapi juga merupakan negara yang mengalami tersekat-sekat (segregasi) dalam sistim pendidikannya. Laporan OECD menunjukkan, pendidikan Chile secara sadar terstruktur menurut kelas sosial.

Pendidikan di Chile diciptakan untuk memelihara dan mendeferensiasi kelas sosial: ada pendidikan untuk kaum kaya, untuk klas menengah, dan untuk kaum miskin. Dan pendidikan untuk menghasilkan elit nasional di masa depan. Di sisi lain, pendidikan teknik tinggi hanya menghasilkan tenaga kerja manual dengan upah murah, sedangkan universitas swasta diarahkan untuk membentuk calon direksi perusahaan besar dan seterusnya. Setiap orang dipisahkan menurut kemampuan mereka membayar. Dan sebagian besar terperangkap dalam utang.

Jadi, tujuan privatisasi bukan hanya memelihara ketimpangan sosial, menghancurkan pendidikan publik sebagai ruang integrasi sosial, namun punya hubungan langsung dengan hancurnya apa yang dipandang sebagai titik temu “musuh dalam selimut”: pendidikan negeri yang membentuk warga negara yang kritis, yang berpikir soal realitas kebangsaan dan ketidakadilan-ketidakadilannya, aktif dalam proses demokratisasi internal dari lembaga-lembaga pendidikan di negeri kita.
Apa yang hendak dihancurkan bukan hanya kemungkinan bahwa pendidikan akan memberikan alat yang dibutuhkan siswa agar menjadi professional yang baik, tetapi juga sebagai masyarakat kritis—ketimbang menjadi robot dalam perusahaan yang bernama universitas.

Privatisasi juga makin menghilangkan pendidikan kewarganegaraan di dalam pendidikan publik. Terjadi pengurangan jam untuk mata pelajaran sejarah, filsafat, seni dan musik—menggambarkan betapa mayoritas rakyat kami harus menjalani sebuah pendidikan yang secara fungsional digiring ke arah neoliberalisme. Kesadaran mereka secara mendalam telah digerogoti. Sampai pada nilai-nilai solidaritas, etik, penalaran kolektif yang fundamental bagi pembentukan organisasi-organisasi kerakyatan di negeri kami selama era ’60an dan ’70an.

Menuntut pergeseran paradigma

Liberalisasi tawaran pendidikan dan privatisasi sistem ini dengan konsekuensinya: kurangnya pendanaan sekolah-sekolah dan universitas-universitas publik, pengalihan tata kelola sekolah dari Negara ke pemerintah daerah dengan selisih yang amat besar dalam anggaran maupun kemampuan, diutamakannya kebebasan swasta di atas hak atas pendidikan dalam konstitusi politik kami, subsidi berdasarkan permintaan melalui beasiswa dan kredit, serta standarisasi mekanisme pengukuran kualitas berdasarkan kriteria-kriteria pasar, semuanya adalah kebijakan yang dianggap akan menyediakan, di satu sisi, pengajaran yang memungkinkan mereka mereproduksi elemen dasar dari produksi ekonomi, dan di sisi lain, melahirkan elemen ideologis yang memastikan kondisi politik bagi beroperasinya sistem ini.

Itu semua aku sebutkan karena, setelah dekade konstruksi dan rekonstruksi organisasi, artikulasi, dan penguatan gerakan mahasiswa di dunia, pada tahun 2011, di Chile, gerakan mahasiswa hidup melalui proses sintesis historis, dimana kami berhasil meningkatkan gagasan-gagasan secara ekonomis untuk meningkatkan pendanaan bagi pendidikan publik, tetapi dalam kerangka proses panjang pematangan politik, kami berhasil untuk memahami bias dari pendidikan kami, bias yang sangat ideologis ke arah pendalaman kesenjangan sosial.

Dan karena itu kami menyimpulkan bahwa privatisasi tidak hanya diciptakan untuk membuka pintu bisnis baru bagi swasta tetapi juga menghancurkan menghancurkan ruang-ruang publik bagi pembentukan ideologi-ideologi yang bersimpang jalan dari pendidikan dan masyarakat. Pengajar, Rektor, Wali Amanat dan pekerja pendidikan bergabung dan mampu menuntut, melalui gerakan massa di jalan-jalan, sebuah pergeseran paradigma dalam model pendidikan di Chile, dan dengan itu mengubah masyarakat kami.

Pergeseran paradigma ini tidak hanya mengisyaratkan pemulihan hak konstitusional atas hak mendapatkan pendidikan—dan karena itu, Negara harus berperan menyediakan pendidikan negeri gratis dan ruang berkualitas bagi integrasi sosial—tetapi secara mendasar terkait dengan keharusan untuk mempertahankan dan memberi kembali makna kepada “publik”, sebagai sebuah ruang apropriasi demokratis dalam penciptaan dan penyebaran pengetahuan.

Ini penting juga dicatat bahwa dalam perdebatan di kawasan Amerika Latin dan Karibia, kami juga berpikir tentang universitas dari perspektif transformasi, perspektif sejarah gerakan mahasiswa, yang sejak permulaan abad telah mengajukan dibangunnya sebuah sistem pendidikan yang membebaskan yang mengontrak universitas sesuai kebutuhan sektor-sektor rakyat. Sebagai sebuah gerakan mahasiswa, kami percaya bahwa universitas telah kehilangan arah dan tak mampu menangani kenyataan-kenyataan problematis benua kita. Hari ini, isu-isu seperti segregasi sosial, kemiskinan, kelaparan, polusi atas planet dan begitu banyak masalah lain yang mempengaruhi masyarakat kami, tidak diperlakukan sebagai prioritas-prioritas utama di universitas-universitas. Mereka telah disekap oleh visi reduksionis penganut pasar bebas yang makin lama makin cepat dalam memproduksi tenaga kerja terdepolitisasi dan terstandarisasi bagi pasar global.

Hari ini generasi baru mahasiswa terus berjuang agar semangat pemberontakan pendahulu-pendahulu kita tetap hidup, dan karenanya mereka memelihara perjuangan di benua kami dengan mendukung perjuangan saudara kami di Kanada, yang baru saja berhasil membatalkan kenaikan biaya pendidikan; kawan-kawan dari Puerto Rico, pelaku utama dalam lembaran sejarah heroik gerakan mahasiswa kawasan ini; kawan-kawan Kolombia yang setiap harinya menunjukkan bahwa sekalipun situasinya sulit dan di tengah ancaman dan penindasan terus menerus, kepentingan mendesak saat ini adalah memperjuangkan sebuah pendidikan yang menjawab kepentingan-kepentingan rakyat; mahasiswa-mahasiswa Dominika menuntut 4% PDB untuk pendidikan; gerakan mahasiswa Ekuador berjuang mempertahankan gagasan otonomi dan pemerintahan-bersama mahasiswa di Córdoba; mahasiswa Brasil berhasil mendorong 10% PDB diinvestasikan ke sektor pendidikan, dan kami, mahasiswa Cile berjuang memerangi model pasar bebas yang dipaksakan oleh kediktatoran Pinochet dan yang hari ini membeking pemerintahan Piñera dengan represi brutal atas gerakan sosial, pelanggaran HAM, dan bahkan pengajuan undang-undang yang mempidanakan demonstran dengan hukuman 3 tahun penjara apabila menduduki sekolah, alun-alun, atau memacetkan jalan raya.

Dewasa ini, mata kami tertuju pada keberagaman dan kekayaan pemikiran benua kami. Tahun lalu kami selenggarakan Kongres Mahasiswa Amerika Latin ke-16 OCLAE (Organisasi Mahasiswa Se-Amerika Latin dan Karibia) di mana lebih dari 6.000 mahasiswa berkumpul. Kami tegaskan tekad organisasi-organisasi sebenua untuk memperkuat pendidikan publik bagi transformasi, inklusi, dan pengorganisasian semua sektor kerakyatan di tangan kaum buruh, pekerja manual, dan masyarakat adat.

Akhirnya, kami semua berkomitmen untuk mengintegrasikan konsep masyarakat asli kami melalui proses pendidikan inter-budaya, yang menghadirkan visi peradaban baru pasca-kapitalis yang sejalan dengan lingkungan dan pemanfaatan secara berdaulat dan bertanggungjawab atas material dan sumberdaya primer kita yang terbatas. Mengembangkan visi inilah yang sekarang ini memberi proses pendidikan di Amerika Latin jatidirinya sendiri, dari ruang-ruang kelas ke penelitian canggih bagi perkembangan teknologi-teknologi baru.

Sumber : Online Berdikari

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *