INDUSTRI KREATIF BERBASIS DESA

SAPA INDONESIA – KABUPATEN Banyuwangi, Jawa Timur, bekerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif membangun industri kreatif berbasis desa. Kerja sama tersebut dilakukan untuk memperkuat potensi lokal. Industri kreatif setempat telah menembus ekspor, tetapi belum optimal.

Penandatanganan kerja sama tersebut dilakukan Minggu (9/10) malam oleh Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dan Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf di acara Banyuwangi Batik Festival. Pada Senin (10/10) pagi, tim dari Bekraf langsung menggelar diskusi grup dengan para perajin dan pengusaha kreatif Banyuwangi di Hotel Ketapang Indah, Banyuwangi. PEMBANGUNAN DESA

Triawan Munaf mengatakan, industri kreatif berkembang di Banyuwangi. Industri ini menopang kebutuhan cendera mata di Bali dan Jakarta. Sebagian bahkan bisa menembus ekspor. PEMBANGUNAN DESA

Kerajinan anyaman bambu di Desa Gintangan, misalnya, menembus pasar Amerika Serikat. Kerajinan batok kelapa dari Kecamatan Kabat juga menembus Eropa. Sayangnya, perajin tak bisa memberikan label sendiri pada produk mereka, tetapi oleh pembeli di Jakarta dan Bali. “Karena itu, perajin di desa-desa akan didampingi,” ujarnya. PEMBANGUNAN DESA

Bekraf, tambah Triawan, akan menjadikan sejumlah desa di Banyuwangi sebagai desa percontohan. Desa-desa itu, yakni Desa Tamansari, Kecamatan Licin; Desa Gintangan, Kecamatan Rogojampi; dan Desa Sumberbuluh, Kecamatan Songgon. PEMBANGUNAN DESA

Ada tujuh ruang lingkup yang akan digarap, yakni edukasi dan pengembangan ekonomi kreatif, akses permodalan, infrastruktur, pemasaran, regulasi, serta hubungan antarlembaga dan wilayah. PEMBANGUNAN DESA

Selain itu, Bekraf juga akan fokus pada tujuh subsektor, yaitu mode, kriya (kerajinan), seni rupa, seni pertunjukan, kuliner, musik, dan desain komunikasi visual. Tujuh subsektor dipilih sesuai urutan sektor yang paling berdampak dan paling dibutuhkan di Banyuwangi.

Perlu perhatian PEMBANGUNAN DESA

Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan, desa perlu mendapatkan perhatian lebih karena biasanya terganjal sumber daya manusia dan minim infrastruktur penunjang. Di desa hampir semua pelaku ekonomi kreatif tidak melakukan riset pasar, infrastruktur terbatas, dan minim teknologi canggih. “Karena itu, kami memperhatikan desa agar mereka bisa berkembang dan maju,” kata Anas. PEMBANGUNAN DESA

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya pertumbuhan ekonomi kreatif di Banyuwangi selama 2010-2014. Sektor kuliner, misalnya, tumbuh 70 persen dari Rp 475,76 miliar pada 2010 menjadi Rp 811,7 miliar pada 2014. Industri furnitur tumbuh 50 persen dari Rp 193 miliar menjadi Rp 304,1 miliar. PEMBANGUNAN DESA

Industri kayu, barang anyaman bambu, rotan, dan sejenisnya tumbuh hampir 50 persen dari Rp 634 miliar menjadi Rp 941 miliar. Industri pakaian (mode) tumbuh 53 persen dari Rp 60 miliar menjadi Rp 92 miliar. Adapun jasa lain yang di dalamnya ada subsektor kesenian, hiburan, dan rekrasi tumbuh dari Rp 403 miliar menjadi Rp 564 miliar. PEMBANGUNAN DESA

Bersaing dengan Vietnam

Menurut Widodo, pemilik galeri bambu Winda Handycraft dari Desa Gintangan, Banyuwangi, produk kerajinan tangan di desanya merambah pasar global sejak 1990-an. Produk berupa kap lampu, dekorasi rumah dari anyaman bambu, hingga pernak pernik peralatan rumah tangga diekspor ke Amerika Serikat, Jepang, dan Spanyol. Pengiriman barang bisa lebih dari 2 kontainer per bulan. PEMBANGUNAN DESA

“Namun, para perajin juga sering merasakan pasang surut permintaan ekspor. Saat krisis ekonomi tahun 1998, kami banjir order. Sebaliknya saat krisis melanda Eropa, pasar berkurang hingga 25 persen,” katanya. PEMBANGUNAN DESA

Kini, perajin menghadapi kompetitor baru, yakni Vietnam dan Thailand. Kedua negara itu berani memasang harga lebih murah untuk memenangi pasar. Ibin, pemilik Kejaya Handycraf di Desa Kedayunan, Kabat, merasakan persaingan harga itu. Meski masih rutin mengekspor beragam produk kerajinan tangan ke Amerika Serikat, Jamaika, dan Jepang, ia berkali-kali kehilangan pasarnya karena kalah dengan produk Thailand dan Vietnam. PEMBANGUNAN DESA

“Kami kalah harga. Mereka menjual sangat murah, yakni Rp 5.000-Rp 6.000 untuk sebuah mangkok batok kelapa berlapis kerang. Harga itu lebih murah Rp 1.000-Rp 2.000 dari harga jual kami,” ujarnya. PEMBANGUNAN DESA

Menurut Ibin, harga Thailand tak bisa diterapkan di Indonesia. Bahan baku batok kelapa saja sudah Rp 5.000 per butir. Sebagian pelanggannya juga lari ke Thailand. Vietnam juga demikian. Mereka mengeluarkan produk setipe dengan produk Indonesia dengan harga yang lebih murah. PEMBANGUNAN DESA

Sumber: Kompas dot com
             PEMBANGUNAN DESA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *