PENYALAHGUNAAN DAN PENYELEWENGAN ADD/DD DI KABUPATEN DOMPU PROPINSI NTB

SAPA INDONESIA – MENANDAI telah disahkannya rancangan UU No. 6 tahun 2014 tentang desa, menjadi undang-undang, banyak hal yang menjadi kekhawatiran rakyat ditengah Supremasi hukum masih berjalan ½ hati.

Bagaimana tidak, akses alokasi ADD yang terbilang fantastic banyaknya di tahun ini, dikhawatirkan berpotensi menimbulkan dugaan praktek penyimpangan dan penyalahgunakan ADD dalam bentuk skala besar oleh pemerintah desa.

Memasuki tahun 2015-2016 ini Kabupaten Dompu, sedikitnya ada 8 (Delapan) desa yang sat ini diduga bermasalah akibat penggunaan anggaran yang tidak sehat. Hal ini dapat kita lihat dari laporan yang disertai aksi maupun audience masyarakat desa, yang mewarnai keramaian masa di halaman kantor desa, BPMPD dan Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Dompu beberapa bulan terkahir ini.

Unjuk rasa yang ditengarai adanya ketidak keterbukaan terhadap pengelolaan anggaran oleh desa, menjadikan desa-desa yang ada di Kabupaten Dompu tidak luput dari sasaran aksi pressure masyarakat, yang menuntut adanya prinsip pengelolaan ADD yang transparan, akuntabel, dan partisipatif, dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam setiap pembahasan anggaran.

Beberapa desa yang saat ini tengah menjadi sorotan media melalui pemberitaan Koran, dan masyarakat melalui aksi unjuk rasa maupun audiensi internal desa dan kejaksaan sepanjang tahun 2015/2016 adalah; (1) Desa Rababaka, (2) Desa Tanju, dengan dugaan penyimpangan/penyalahgunaan Alakasi Dana Desa (ADD), yang masih dalam proses penyidikan dan penyelidikan oleh kejaksaan Dompu, yang dilaporkan oleh masyarakat, antara lain: (1) Desa Tekasire, (2) Desa Kampasi Meci, (3) Desa Saneo, (4) Desa Adu, (5) Desa Karamabura, dan yang terakhir adalah (6) Desa Mbawi.

Desa-desa yang mengalami reposisi pasca disahkannya UU No. 6 tahun 2014 tentang desa, pada tanggal 15 Januari 2014, diharapkan akan mampu menciptakan kondisi yang kondusif dikalangan masyarakat desa, dengan anggaran yang saat ini dikelolanya yang jumlahnya berlipat, jauh di atas jumlah anggaran yang sebelumnya tersedia di desa itu sendiri, untuk dapat mewujudkan masyarakat desa yang adil secara politik, dan sejahtera secara ekonomi.

Dinamika yang terjadi di desa, pasca disahkannya UU No. 6 tahun 2014 tentang desa, menjadi agenda baru pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menganalisis permasalahan desa yang saat ini di tengah masyarakat desa yang saat ini banyak yang melakukan demonstrasi.

Hamper semua media atau Koran local Dompu memuat bahwa dalam sepekan ini banyak laporan masyarakat yang masuk yang diterima oleh pihak kejaksaan Dompu, yang materinya adalah “dugaan penyimpangan/penyalahgunaan ADD”.

Mulai dari anggaran tahun 2015 sampai dengan tahun 2016 sekarang ini. Pertanyaannya adalah bagaimanakah sikap yang dimiliki oleh kepala kecamatan (camat) diwilayah terkait, Dinas/Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMPD), DPPKAD, Inspektorat, maupun pendamping desa itu sendiri. Sehingga dengan mudah desa-desa terkait terindikasi melakukan praktek dugaan penyimpangan dan penyelewengan ADD.

Mengingat masih maraknya korupsi di Desa dengan variatifnya karakteristik desa, kompetensi aparat, dan regulasi yang relative baru, diduga terdapat cukup banyak potensi korupsi dalam tiap tahapan penyaluran dana desa seperti, proses perencanaan RPJMDes, RKPDes, dan APBDes, yang rawan elit capture, rencana penggunaan anggaran yang tidak sesuai aturan 70% Pembangunan dan 30% Operasional.

Pelaksanaan kegiatan pembangunan, pemberdayaan, dan kegiatan pemerintahan yang rawan nepotisme, tidak transparan, dan korupsi. Pengadaan barang/jasa penyaluran, dan pengelolaan dana yang rawan mark up tidak transparan, rekayasa, dan korupsi. Pertanggungjawaban (minimal 2 kali) yang rawan rekayasa, laporan/fiktif tidak transparan, dan yang terakhir monitoring dan evaluasi yang rawan formalitas administrasi.

Atas besarnya potensi dugaan korupsi dalam penyaluran dana ke desa tersebut, diperlukan kajian untuk memetakan potensi resiko dalam pengelolaan keuangan desa untuk kemudian dirumuskan solusi yang mampu meminimalkan resiko-resiko yang ada. Sehingga, tujuan awal dari dirumuskan kebijakan dana desa dapat terarah dan tepat sasaran.

Untuk memajukan perekonomian masyarakat desa dan mengatasi kesenjangan pembangunan nasional dapat terwujud. Hal ini sejalan dengan tujuan dari pelaksanaan ADD, berdasarkan Permendagri No. 37 tahun 2007, yang mengatakan:

Pertama, ADD bertujuan untuk peningkatan aspek pembangunan baik prasarana fisik maupun nonfisik dalam rangka mendorong tingkat partisipasi masyarakat untuk pemberdayaan dan perbaikan taraf hidup,

Kedua, asas dan prinsip pengelolaan ADD yaitu transparan, akuntabel, dan partisipatif, artinya ADD harus dikelola dengan mengedapankan keterbukaan dilaksanakan secara bertanggungjawab, dan juga harus melibatkan peran serta aktif segenap masyarakat setempat.

Ketiga, ADD merupakan bagian yang integral (satu kesatuan yang tidak terpisahkan). Dari APBD Desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pelaporannya.

Keempat, penggunaan ADD ditetapkan sebesar 30% untuk belanja aparatur dan operasional desa dan sebesar 70% untuk belanja pemberdayaan masyarakat.

Kelima, diperlukan pelaporan atas setiap kegiatan yang dibiayai dari anggaran ADD secara berkala (bulanan), dan laporan hasil akhir penggunaan ADD. Laporan ini terpisah dari pertanggungjawaban APBD Desa, hal ini sebagai bentuk pengendalian dan monitoring serta bahan evaluasi bagi pemerintah daerah.

Menganalisis mekanisme penyaluran dan pengelolaan ADD di atas, terdapat banyak peluang potensi terjadinya dugaan tindak pidana korupsi anggaran, tentu dalam hal ini, diharapkan kepada semua pihak pemerintah dan pemangku kepentingan untuk mengambil kebijakan dan tindakan yang dapat mencegah terjadinya dugaan tindak pidana korupsi, serta mengajak dan mendorong keterlibatan masyarakat umum maupun organisasi masyarakat sipil untuk bersama-sama mendukung upaya perbaikan sistim, mengumpulkan informasi serta memantau dan mengawasi pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan di Desa.

Oleh: IKRAMAN Korda II NTB (Kabupaten Dompu dan Sumbawa Barat)

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *