KEMISKINAN DI SEKTOR PERDAGANGAN DI KABUPATEN BANDUNG

SAPA – Di sektor perdagangan, yang diduga terkait dengan kemiskinan yaitu pedagang pasar dan pedagang kaki lima/keliling. Saat ini kedua kelompok pedagang ini termasuk pekerja sektor informal. Sebagai pelaku sektor informal, mereka dapat dengan mudah termasuk kategori miskin atau pun rentan.

Selain pedagang, yang termasuk kategori rentan dan miskin dalam sektor ini adalah mereka yang terkait dengan aktifitas perdagangan. Misalnya, kuli angkut, pedagang asongan, dan pekerja transportasi (tukang ojek, delman, becak, dll). Mereka mengandalkan hidup dengan memanfaatkan eksternalitas yang dimiliki oleh keberadaan sebuah pasar.

Mengapa kemiskinan terjadi di sektor perdagangan bisa terjadi? Dilihat dari latar belakang motif mereka yang menjadi pedagang pasar, rata rata mereka berpendidikan rendah karena memang tidak diperlukan pendidikan yang tinggi. Selain itu mereka juga tidak sedikit yang memang berasal dari keluarga pedagang. Ada yang meneruskan bisnis orang tuanya, ada juga yang memulai sendiri.

Mereka membeli kios di pasar dengan modal meminjam dari keluarga atau dengan menjual asset yang mereka miliki, misalnya tanah. Saat ini untuk dapat berjualan di pasar, seseorang harus mengeluarkan uang yang cukup besar untuk membeli sebuah lapak, antara 10-20 juta rupiah. Setelah itu, mereka membutuhan modal untuk berusaha. Selama berdagang, banyak resiko yang harus mereka hadapi, seperti tidak laku, busuk, kebakaran, isu-isu negatif (formalin, boraks, daging babi, dll). Selain itu setiap hari mereka harus juga mengeluarkan uang untuk membayar berbagai retribusi yang resmi dan tidak resmi (illegal).

Selain pedagang pasar, PKL pun ceritanya tidak jauh berbeda. Pedagang kaki lima (PKL) merupakan pelaku usaha informal yang juga masuk kategori miskin ataupun rentan di Kab Bandung. Banyak dari mereka menjadi PKL karena memang tidak punya pilihan lain. Tidak sedikit mereka dulunya adalah buruh pabrik, pengangguran, dll. Mereka rata-rata berpendidikan rendah. Untuk dapat memperoleh “kavling berjualan” di trotoar mereka harus membeli dari “oknum” preman atau aparat seharga 5-10 juta per lapak.

Saat mereka berjualan, mereka mempunyai lebih banyak resiko daripada pedagang pasar. Resiko yang mereka hadapi diantaranya tidak laku, persaingan tidak sehat dari sesama PKL, preman, musim hujan, isu-isu menyesatkan, penggusuran, dll. Resiko diatas menyebabkan mereka rentan. Kerentanan mereka antara lain menyangkut pada modal terbatas, kegiatan usaha subsisten, tidak adanya ijin usaha, dan ketiadaan jaminan tempat usaha.

Memang tidak sedikit dari mereka yang menyadari bahwa berjualan di trotoar adalah ilegal.

Yang kemudian mungkin agak berbeda adalah mereka yang bekerja memanfaatkan eksternalitas pasar, seperti kuli angkut, pedagang asongan, dan pekerja transport. Mereka pun rentan –bahkan sangat rentan- terhadap tidak adanya pekerjaan, pemalakan, dll.

Resiko umum sebagai pedagang, seperti rusaknya barang dagangan, kurang laku, dll, tidak bias dikategorikan sebagai permasalahan. Akar permasalahan kemiskinan di sector perdagangan, khususnya pedagang kecil di pasar dan PKL, berbeda. Bila tadi disebutkan bahwa permasalahan umumnya adalah banyaknya pungutan liar yang harus mereka bayarkan.

Bila kita kaji lebih jauh, permasalahan pungutan liar tersebut tidak serta merta muncul begitu saja. Dalam kasus PKL (termasuk pedagang asongan dan pedagang keliling), akar permasalahan pertama yaitu bahwa menjadi PKL bukan pilihan tanpa keterpaksaan. Bila dilihat mereka menjadi PKL sebagai pilihan terakhir, karena mereka gagal masuk di dunia kerja formal karena keterbatasan pendidikan, lapangan kerja, dll. Setelah gagal masuk ke duniakerja formal, akhirnya mereka memilih berdagang yang tidak membutuhkan pendidikan.

Tapi kemudian permasalahan kedua menghadang mereka dalam hal modal. Untuk berdagang mereka membutuhkan modal yang besar untuk bias mendapat tempat formal: dikios atau di pasar. Sampai saat ini tidak ada akses permodalan bagi mereka. Hanya rentenir atau keluarga yang bias memberi pinjaman modal.

Permasalah ketiga yaitu kurangnya infrastruktur untuk berdagang, dalam hal ini pasar atau lapangan khusus untuk berjualan. Akhirnya mereka berjualan di tempat umum yang bukan tempat berjualan. Dan keadaan ini yang dimanfaatkan oleh “oknum” aparat dan preman yang memperjualbelikan trotoar untuk mereka berjualan.

Permasalahan keempat adalah adanya anggapan negative dari pemerintah bahwa PKL adalah sesuatu yang harus diberantas karena mengganggu. Padahal yang harus disadari yaitu bahwa mereka itu berprofesi PKL karena tidak ada tempat yang bias mewadahi mereka untuk berjualan. Profesi sebagai PKL telah terbukti sebagai jarring pengaman social yang mencegah mereka terjerumus lebih jauh dalam lembah kemiskinan.

Sementara bagi pedagang, tidak cukup relevan mengkategorikan mereka sebagai orang miskin. Namun bila kita melihat resiko “tidak normal” yang mereka hadapi sebagai pedagang, mereka layak dikategorikan sebagai orang yang rentan. Akar permasalahan yang mereka hadapi tidak banyak, hanya tidak adanya jaminan atas resiko tidak normal tersebut, seperti kebakaran, pemerasan preman, banjir.

Oleh : Umar Alam Korda SAPA Kabupaten Bandung
                              Kemiskinan – Penanggulangan Kemiskinan – Melawan Pemiskinan – Pengentasan Kemiskinan – TKPK – Angka Kemiskinan- Data Kemiskinan – Musrenbang – PNPM Mandiri

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *