QUO VADIS IKRAR – INDEKS KESEJAHTERAAN RAKYAT

SAPA INDONESIA – Bertempat di Hotel Mercure jalan Kebon Sirih, Jakarta, pada tanggal 4-5 Mei 2015 telah diselenggarakan kegiatan “Konsinyering Pembahasan Indeks Kesejahteraan Rakyat (IKraR)”. Acara konsinyering dibuka oleh Asisten Deputi (Asdep) Kedeputian VII Kemenko PMK, Widjanarko Setiawan, dengan moderator Fakhrulsyah Mega, Policy Analyst Sekretariat SAPA Indonesia.

Widjanarko Setiawan dalam sambutannya menyampaikan bahwa kajian terhadap Indeks Kesejahteraan Rakyat atau yang populer disebut dengan IKraR telah dilakukan sejak 2010, yang kemudian dirilis indeksnya pada tahun 2012.

Wijanarko menekankan perlunya untuk menjalin jaringan dengan Kementerian dan Lembaga dalam rangka sosialisasi IKraR. “Untuk ke depan, substansi IKraR perlu sedikit dilakukan perubahan, menyangkut nomenklatur Kemenko PMK yang juga berubah,” dikatakan Wijanarko.

Wijanarko juga menyampaikan perlunya menggali lagi indikator-indikator yang telah ada dan telah digunakan IKraR agar lebih tajam lagi. Setidaknya ada 56 variabel atau indikator yang pernah kita identifikasi, yang kemudian dikerucutkan menjadi 22 buah. Apabila tahun 2015 ini Kemenko PMK bisa menjalankan kesepakatan penggunaan dan pengelolaan IKraR dengan Kementerian dan Lembaga (K/L) lain dan melakukan pendalaman data sampai dengan tingkat terendah desa (termasuk yang pernah dilakukan di Wonogiri) sehingga penerjemahan istilah “Reinventing IKraR” menjadi lebih bermakna. Validitas eksternal dan internalnya bisa kita pertajam sehingga nantinya IKraR bisa dipakai sebagai tools dalam perencanaan tahunan.

Paparan pertama oleh Dr. Ali Said, MA, dari Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik, BPS. Beliau memaparkan mengenai “Dinamika Indikator dan Instrumen dalam IKraR di Masa Transisi”. Kata “Dinamika” memberikan makna dari asal katanya “Dynamics : the pattern of change of an object or phenomenon”. Sedangkan maksud “masa transisi” adalah “peralihan, atau masa peralihan”. Makna masa transisi secara konteks nasional adalah masa peralihan dari pemerintah periode sebelumnya (SBY) ke pemerintah saat ini (Jokowi). Sedangkan secara konteks global dapat diartikan dengan masa peralihan dari MDGs ke SDGs,dan penerapan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA),dan lain sebagainya.

Masa transisi yang ditandai dengan perubahan pemerintahan di konteks nasional dan perubahan di konteks global (misal: dari MDGs ke SDGs, penerapan MEA, dan sebagainya) dapat berpengaruh pada perubahan indikator dan instrumen yang digunakan dalam penyusunan IKraR.

Mengapa perlu meninjau ulang indikator IKraR? Setidaknya terdapat 3 (tiga) hal yang bisa menjadi pertimbangan sebagai dasar peninjauan ulang: (i) Perubahan di tingkat nasional (kebijakan dan program pemerintah), (ii) Perubahan di tingkat global (globalisasi dan SDGs, penerapan MEA, dsb), (iii) Isu-isu Lain (Mis: middle income trap dan bonus demografi).

DR. Ali Said mengusulkan adanya kuesioner pengukuran kesejahteraan (IKRar) di tingkat desa, dengan variabel-variabel yang perlu dipertimbangkan untuk melakukan matching antara Susenas dengan Podes.
Presentasi berikutnya oleh Katiman, SE, MPP, MAP, selaku Plt. Asdep I di Kedeputian VII, dan Ferdiyansyah, yang pernah meneliti IKraR untuk tujuan thesis. Katiman menyampaikan bahwa pilot perhitungan tingkat kabupaten pernah dilakukan di Wonogiri dan Serdang Bedagai. Namun Wonogiri hanya bisa menyampaikan 9 (sembilan) indikator saja.

Selain itu IKraR pernah diuji dari sudut pandang akademis di beberapa universitas (UGM, ANU Australia, dan Univ. of Melbourne, Australia). IKraR banyak mendapat apresiasi misalnya di Kabupaten Gunungkidul dan Kebumen, yaitu mereka lebih menyukai memakai instrument IKraR dibandingkan dengan menggunakan data pengurangan kemiskinan data versi BPS. Tantangan yang belum diwujudkan selama ini adalah sosialisasi IKraR versi bilingual.

Yuniandono Ahmad
Sekretariat SAPA INDONESIA

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *