MEMBUMIKAN BUMDES DI TATAR PRIANGAN

SAPA – TATAR Priangan khususnya Tasikmalaya pernah mengibarkan kejayaannya dengan mencatatkan peristiwa sejarah sebagai tempat lahirnya gerakan ekonomi kerakyatan termasuk yang berbasis di perdesaan. Pamornya tidak sebatas hanya untuk tingkat nasional, lebih dari itu bahkan level internasional. Sebut saja, Tasikmalaya pernah menjadi tempat kongres pertama Koperasi Indonesia yang melahirkan Hari Koperasi.

Selain itu, Tasikmalaya juga pernah menjadi tuan rumah penyelenggaraan kegiatan Pertanian, Koperasi dan Keluarga Berencana (Pertasi Kencana) Tingkat Nasional tahun 1994 dan sebagai tuan rumah penyelenggaraan kegiatan pertemuan petani se-Indonesia dan Asia Tenggara (Penas) Tingkat Nasional tahun 2002. Sayangnya, nasib kemilau prestasi Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) sebagai lembaga yang diharapkan menjadi salah satu tulang punggung gerakan ekonomi produktif perdesaan, kegemilangannya belum begitu nampak seperti catatan sejarah di atas.

Dari segi jumlah, pemerintah kabupaten pun kemarin-kemarin bahkan belum berani mematok target yang tinggi. Seperti yang pernah tercantum dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2011-2015, dari jumlah 351 desa di Kabupaten Tasikmalaya, yang memiliki Bumdes hanya ditargetkan meningkat 5 buah, dari 8 pada kondisi kinerja awal periode RPJMD (2010) menjadi 13 pada kondisi kinerja akhir (2015). Beruntung dan patut mendapat apresiasi, indikator kinerja pada Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa tersebut tercapai melebihi target.

Merujuk salah satu siaran pers Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT), Bapak Marwan Japar menyebutkan di Kabupaten Tasikmalaya saat ini terdapat 17 Bumdes.

Minimnya jumlah desa yang memiliki Bumdes ini memang tidak hanya di Tasikmalaya tetapi bahkan mungkin di seluruh Indonesia. Sebut saja misalnya di Tangerang Selatan yang notabene menjadi salah satu daerah penyokong ibu kota negara, salah satu media nasional menyebutkan bahkan hanya ada satu (1) Bumdes yang benar-benar eksis yaitu Bumdes Desa Pagedangan. Meskipun cuma satu, Bumdes yang lahir tahun 2013 berkat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) ini eksistensinya mendapat pengakuan dengan dikunjunginya langsung Menteri DPDTT.

Keinginan negara untuk membumikan Bumdes sebenarnya bukan barang baru. Sejak lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Bumdes telah mendapat payung hukum untuk melakukan aktivitas usaha dengan ikut menjadi akselerator untuk menggerakan roda ekonomi perdesaan secara legal. Hal tersebut merujuk Pasal 213 ayat (1) yang menyebutkan “Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa”.

Legalitas Bumdes kemudian kembali dipertegas dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa (Pasal 78,79, 80 dan 81). Secara aspek hukum, kini legalitas lembaga tersebut bahkan lebih mantap dengan digantikan PP tersebut menjadi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (Pasal 87, 88, 89 dan 90).

Semua payung hukum tersebut menggunakan kata ‘dapat’ bukan ‘harus/wajib’ dan hal ini disinyalir menjadi salah satu faktor yang membuat jumlah Bumdes masih minim.

Hindarkan mafia beras

Pembentukan Bumdes memang bersifat opsional atau pilihan. Meskipun demikian, pemerintah juga tidak perlu ‘sampai segitunya’ mengubah ketentuan perundangan dengan mewajibkan desa membentuk Bumdes. Justru masyarakat dan pemerintah desanya sendiri yang perlu memandang lebih serius kenapa pemerintah pusat sampai-sampai mengisyaratkan pentingnya Bumdes dengan mengaturnya dalam Undang-Undang. Ke depan, masyarakat dan pemerintah desa tidak perlu meragukan konsep Bumdes sebagai solusi ‘paling benar’ untuk mengelola seluruh transaksi ekonomi desa, baik internal ataupun eksternal, seperti yang pernah dijamin oleh Pak Menteri Marwan Japar.

Beliau meyakini, ancaman gempuran pekerja asing, aliran bebas barang, jasa dan investasi dari dan ke negara-negara anggota ASEAN dengan diberlakukannya MEA (Masyarakat Ekonmi Asean) akhir tahun 2015 ini juga akan terminimalisasi jika masyarakat dan pemerintah desa memiliki dan mampu mengelola Bumdes. Lembaga Bumdes ini bahkan kini tengah diusulkan menjadi distributor beras bahkan sebagai jurus jitu untuk mengamankan jalur pengadaan dan penyaluran beras dari praktek mafia.

Bermodal keyakinan tersebut, tidak tanggung-tanggung Kementerian DPDTT sendiri bahkan untuk tahun ini ingin membentuk dan mengembangkan sampai 40.000 Bumdes. Target tersebut memang menjadi salah satu dari 9 agenda prioritas program kerjanya yang disebut “Nawa Kerja”. Target tersebut diperlicin dengan rencana penggelontoran dana ke desa-desa berkisar Rp 1,4 M secara bertahap. Bantuan dana tersebut diharapkan tidak hanya dikonsentrasikan untuk pembangunan fisik, tetapi sebagiannya dialokasikan untuk stimulus pendirian atau modal usaha Bumdes.

Sayangnya target manis pemerintah pusat ini belum tampak merata diseriusi di tingkat daerah terutama di tingkat desa itu sendiri. Hal ini terlihat dari masih minim dan sepinya diskusi-diskusi rencana pendirian Bumdes yang lebih serius. Topik Bumdes jauh kalah ramai bahkan terkadang nyaris tak tersentuh peserta maupun narasumber acara Musrenbang. Perbincangan kegiatan pembangunan fisik masih lebih banyak mendominasi agenda awal tahunan ini yang dilaksanakan baik di tingkat desa maupun jenjang di atasnya.

Harapannya tidak ada kata terlambat. Tinggal mau atau tidak pemerintah dan masyarakat desa mendirikan Bumdes yang dilengkapi dengan Sumberdaya Manusia pengurus yang handal. Untuk awalan, tidak begitu perlu yang sudah mahir, setidaknya yang ingin belajar. Hal terpenting tentu yang mempunyai kejujuran karena akan menjadi pondasi utama sebuah lembaga mendapat kepercayaan.

Tinggal mau atau tidak sesegera mungkin pemerintah menyediakan regulasi yang lebih memperkuat Bumdes, menyusun program maupun bantuan teknis dan permodalan. Selain membimbing dan membina pemerintah daerah dan para birokrat tinggal mau atau tidak juga ikut mempermudah akses produksi dan pasar atau bahkan ikut menggunakan produk Bumdes. Contoh sederhana, mau atau tidak ketika mengadakan jamuan pada acara hajat daerah, panitia membeli produk ibu-ibu PKK Desa yang ditampung Bumdes, bukan dari catering milik keluarga pejabat teras kabupaten misalnya.

Tinggal mau atau tidak para oknum meminta dan menerima jatah commitment fee di luar aturan dari bantuan-bantuan dana yang masuk ke desa. Pihak swasta juga tinggal mau atau tidak menggandeng Bumdes sebagai mitra usaha atau menyisihkan anggaran melalui coorporate social responsibility (CSR). Jika jawabannya tidak, maka harapan Kementrian DPDTT rasanya sampai tahun 2067 pun tidak akan terwujud. Namun jika jawabannya ‘ya’, meskipun memang tidak semudah membalikan telapak tangan, dengan kepedulian seluruh pihak mari mulai bergeraklah.

Oleh: Kuswan, SP Alumnus IPB – Bogor;

Tinggal di Cigugur Kabupaten Pangandaran; Eks Fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan di Tasikmalaya
                                                             

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *