MENGAKHIRI POLEMIK HAK MENGURUS DESA

SAPA – TATKALA Undang-Undang Desa disahkan pada Desember 2013 silam, harapan pada pemberdayaan desa patut diapungkan. Apalagi, dalam janji kampanye presiden, soal pemberdayaan desa itu menjadi ‘jualan’ kedua kandidat.

Namun, ketika undang-undang itu tinggal diimplementasikan, ganjalan menghadang. Lebih ironis lagi ganjalan itu datang dari pengambil kebijakan.

Padahal, konstruksi dari UU Desa berpijak pada semangat untuk mereposisi desa, dari posisi yang selama ini ada, yakni sebagai objek pembangunan digeser menjadi subjek pembangunan.

Melalui UU Desa, desa diberi dan berwenang mengelola dana dari APBN demi kemaslahatan masyarakatnya. Ada perubahan fundamental dalam pengelolaan pemerintahan desa, dari yang awalnya top down menjadi bottom up.

Dengan semangat yang begitu bagus, semestinya tiada alasan untuk tidak secepatnya menerapkan amanat UU Desa tersebut. Namun, di negeri ini sesuatu yang ideal kerap terhalang oleh beragam kerancuan dasar hukum dan juga perang kepentingan.

Dalam hal UU Desa, kini tarik-menarik terjadi antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Mereka punya tafsir sendiri-sendiri atas regulasi soal desa yang termaktub dalam undang-undang tersebut.

Kemendagri, misalnya, berpijak pada UU No 6/2014 tentang Desa yang pada Pasal 1 (ayat 16) menggariskan bahwa menteri yang dimaksud ialah menteri yang menangani desa.

Dalam penjelasan umum di UU tersebut dinyatakan menteri yang menangani desa saat ini ialah Menteri Dalam Negeri. Lalu, Pasal 112 (ayat 1) disebutkan yang dimaksud pemerintah saat ini adalah Menteri Dalam Negeri yang melakukan pembinaan umum penyelenggaraan pemerintahan desa.

Dengan pijakan seperti itu, Kemendagri merasa pantas dan berhak mengurusi desa. Namun, mantan Ketua Panitia Khusus UU Desa Ahmad Muqowwan menyebutkan kata ‘saat ini’ yang dimaksud dalam UU ialah ketika belum ada Kementerian Desa.

Itu artinya, ketika sudah ada Kementerian Desa, urusan desa bukan menjadi domain Kementerian Dalam Negeri, melainkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Ter¬tinggal, dan Transmigrasi.

Pun demikian dengan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi. Perpres No 165/2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja mengatur bahwa mereka bertugas memimpin serta mengoordinasikan penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang desa.

Dari nomenklaturnya, Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi merasa lebih pas menjalankan amanat UU Desa, termasuk mengurus dana desa. Dari UU Desa dan Perpres semestinya terang-benderang desa diurus Kementerian Desa.

Presiden Jokowi tinggal menjalankan undang-undang dan perpres tersebut. Dengan begitu, tiada lagi perang alasan dan adu kuat intepretasi soal siapa yang berhak mengelola desa.

Tidak elok rasanya bila benar dua kementerian berebut mengurus desa. Lebih tidak elok lagi bila muncul kesan bahwa yang terjadi bukan cuma berebut mengurus desa, melainkan berebut mengurus dana desa yang sangat besar, yang diperkirakan lebih dari Rp1 miliar per desa.

UU Desa dibuat untuk mempercepat komitmen yang amat mulia, yakni menyejahterakan desa. Sangat tidak elok jika undang-undang itu tak bisa selekasnya dilaksanakan hanya karena tarik-menarik kewenangan antarkementerian.

Sumber: Metrotvnews dot com
                                            Penanggulangan Kemiskinan – Melawan Pemiskinan – Pengentasan Kemiskinan – TKPK – Angka Kemiskinan – IKraR – Pemberdayaan Masyarakat – PNPM Mandiri – Undang undang Desa

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *