MELIHAT KEMISKINAN DAN KESENJANGAN DI TAHUN POLITIK


SAPA
– KEMISKINAN, adalah kata yang cukup akrab terdengar di telinga kita. Bahkan di saat-saat masa kampaye, kata ini sering keluar dari mulut para juru kampaye yang selalu saja menjanjikan perubahan. Isu tentang KEMISKINAN memang cukup menarik, meski terbilang klasik. Klasik karena sejak zaman penjajahan hingga 68 tahun setelah kemerdekaan, urusan KEMISKINAN belum juga tuntas bahkan cenderung fluktuatif. Bisa naik dan bisa juga turun.

Naik dan turunnya jumlah penduduk miskin sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) biasanya memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap peningkatan kemiskinan, selain faktor inflasi, upah minimum buruh, tani dan tenaga bangunan, serta stabilnya harga bahan pokok.

Dalam beberapa laporan yang dilansir BPS dan dikutip berbagai media, dikatakan angka kemiskinan mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 persentase kemiskinan 16,7 persen. Kemudian pada tahun 2009 turun menjadi 14 persen dan turun lagi menjadi 13,33 persen pada tahun 2010. Sedangkan pada tahun 2011 turun menjadi 12,36 persen dan pada 2012 turun menjadi 11,66 persen. Terakhir pada Maret 2013 angka kemiskinan turun menjadi 11,37 atau menjadi 28.07 juta orang.

Data di atas menunjukkan bahwa penurunan angka kemiskinan Indonesia relatif lambat. Jika dilihat, rata-rata penurunan jumlah penduduk miskin berkisar pada 0,87 persen per tahun. Begitupun, keberhasilan dalam menurunkan angka kemiskinan ini kemudian menjadi klaim-klaim penting bagi partai politik yang mendukung pemerintahan sepanjang 2009-2014 untuk dapat mendulang kembali suara pada Pemilu 2014.

Benarkah penurunan angka kemiskinan ini merupakan suatu prestasi yang membanggakan? Jika dilihat dari upaya penurunan angka kemiskinan, tentu kita harus memberikan apresiasi kepada pemerintah yang dari tahun ke tahun berhasil menurunkan angka kemiskinan, meskin relatif kecil. Tetapi, di satu sisi, penurunan angka kemiskinan tersebut tidak berpengaruh terhadap indeks kedalaman kemiskinan (IKK).

IKK justru menunjukkan kecenderungan naik. Pada Maret 2013, IKK tercatat 1,75 persen menjadi 1,89 persen. Sedangkan indeks keparahan kemiskinan naik dari 0,43 persen (Maret) menjadi 0,48 persen. Kenaikan indeks ini menunjukkan dua faktor yang sedang terjadi di tengah masyarakat, yaitu semakin melebarnya kesenjangan antara penduduk miskin dan semakin rendahnya daya beli masyarakat. Ini yang kemudian membuat kemiskinan di Indonesia secara kualitas justru mengalami involusi.

Pertumbuhan dan Kesenjangan

Meski pertumbuhan ekonomi di Indonesia mencapai rata-rata 6,0 namun tidak semua pertumbuhan tersebut menguntungkan masyarakat. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 6,0 tersebut banyak digerakan oleh sektor jasa yang notabene lebih banyak diisi masyarakat kelas menengah dan atas.

Sedangkan masyarakat kelas bawah yang lebih banyak berada pada sektor riil tidak mendapatkan manfaat yang berarti. Sektor pertaniaan yang menjadi tumpuan hidup bagi 40 persen angkatan kerja dan sekitar 60 persen rumah tangga miskin harus terjebak dalam pertumbuhan yang cukup rendah dalam beberapa tahun belakangan.

Tidak salah jika kemudian indeks ini berhasil menembus angka 0,41 poin pada tahun 2011 dan terus awet hingga sekarang. Angka ini dapat dimaknai 20 persen penduduk berpendapatan tinggi menikmati 48,94 persen dari total pendapatan yang tercipta dari hasil perekonomian. Sedangkan 40 persen penduduk berpendapatan rendah hanya dapat menikmati 16,88 persen dari total pendapatan yang tercipta dari hasil perekonomian.

Apa yang diharapkan dari trickle down effect (pertumbuhan yang menetes ke bawah) tidaklah terbukti benar. Pada kasus ini, pertumbuhan ekonomi justru hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang berada pada lingkaran tertentu. Di Indonesia tidak jarang kita temukan orang kaya yang bertambah kaya dan juga orang kaya baru. Hal ini terungkap dari laporan Credit Suisse yang menyatakan pertumbuhan jumlah orang kaya di Indonesia tercepat di dunia dengan peningkatan lima kali lipat dalam satu dekade.

Hal ini terbukti pada tahun 2008 akumulasi kekayaan 40 orang terkaya setara dengan kepemilikan 30 juta penduduk miskin, lalu pada tahun 2011 semakin melonjak setara dengan kepemilikan 77 juta penduduk miskin. Lantas apakah pertumbuhan ekonomi dan kemunculan orang-orang kaya baru pantas untuk diklaim sebagai keberhasilan pembangunan?

Tentunya pembangunan tidak sebatas pertumbuhan ekonomi. Dudley Seers misalnya, seorang ekonom pembangunan asal Oxford, pada tahun 1970 dalam bukunya berjudul “The Meaning of Development” menyatakan ada tiga tolok ukur pembangunan, yaitu apa yang terjadi dengan kemiskinan, penganguran dan kesenjangan. Jika salah satunya saja memburuk, maka sangatlah aneh disebut pembangunan meski pendapatan berlipat.

Berapa bulan lalu banyak orang dihebohkan fenomena Aisyah dan ayahnya yang harus tinggal menggelandang di atas becak. Aisyah yang terbilang masih belia harus bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan ayahnya yang juga menderita sakit. Mereka hidup di tengah kegelamoran masyarakat kota dan polusi asap yang dihasilkan dari mobil-mobil berharga ratusan juta rupiah.

Realitas dari hidup Aisyah dan ayahnya ini adalah satu dari sekian banyak kasus kemiskinan yang belum terselesaikan dengan baik. Pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah, apakah pemerintah yang baru nantinya dapat lebih fokus pada persoalan kemiskinan yang lebih subtantif dan tidak hanya berorientasi pada angka-angka pertumbuhan?

Oleh: Mujahiddin SSos

Penulis alumnus IKS FISIP UMSU dan kandidat master studi
pembangunan FISIP USU
medanbisnisdaily dot com
                                                                                      Penanggulangan Kemiskinan – Melawan Pemiskinan – Kemiskinan – Pengentasan Kemiskinan – TKPKD – Angka Kemiskinan – Data Kemiskinan – Musrenbang – PNPM Mandiri

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *