Miskin di Desa, Miskin di Kota

Persoalan kemiskinan adalah “prestasi” pemerintah Indonesia karena telah mampu bertahan dan dengan kecenderungan yang menguat. Daya jangkau kemiskinan amat luas dan melintasi wilayah pedesaan maupun perkotaan.

Seluruh persoalan agraria dan kemiskinan di pedesaan yang disebabkannya memiliki implikasi langsung terhadap dan erat kaitannya dengan persoalan perburuhan di perkotaan. Kemiskinan dan kelangkaan kesempatan kerja mendorong orang desa pergi menjadi buruh di pabrik-pabrik di kota untuk melepaskan baju kemiskinannya, akan tetapi dalam kenyataannya baju kemiskinan jua yang kembali harus dikenakan.

Saat ini di Indonesia dan di berbagai tempat di penjuru dunia – terutama di Negara-negara Selatan – persoalan agraria dalam bentuk konflik dan perebutan hak milik, konversi lahan, intensifikasi dan modernisasi pertanian, penetrasi dan ekspansi usaha-usaha agribisnis multinasional raksasa, eksploitasi sumber daya alam tambang, secara pasti menuju pada muara yang sama : pemiskinan dan kemiskinan yang berkelanjutan.

Pada saat yang sama proses industrialisasi dalam rangka kompetisi global dan upaya meningkatkan daya saing internasional – yang terjadi di Indonesia dan Negara-negara Selatan – terus berlangsung dengan datangnya investasi-investasi asing raksasa yang menawarkan kesempatan kerja di sektor formal modern dan menarik orang-orang desa bergabung dalam barisan tenaga kerja penggerak mesin-mesin kapitalisme global. Asumsi bahwa bekerja di sector formal akan memberikan kondisi kerja dan kesejahteraan yang lebih baik harus dikoreksi sebab yang terjadi juga adalah pemiskinan dan kemiskinan yang berkelanjutan.

Bagaimana wajah kemiskinan yang terjadi di kota yang menyertai proses industrialisasi di tengah persaingan global dan kaitannya dengan kemiskinan di desa adalah pokok yang hendak disampaikan.

Kondisi kemiskinan di pedesaan dan proses industrialisasi di perkotaan hampir seperti dua sisi mata uang. Kondisi kemiskinan di pedesaan mendorong penduduk untuk pergi ke kota dengan impian akan dapat keluar dari kemiskinan dan sedapat mungkin membawa pulang uang ke desa untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Bahkan bila mungkin untuk melakukan investasi atau untuk akumulasi asset. Impian itu dilandaskan pada sebuah asumsi bahwa industrialisasi di kota dengan sektor formal modern lebih terlindungi, lebih terjamin dan lebih menyejahterakan karena diatur oleh pemerintah.

Meskipun pada satu masa – periode 80an hingga separuh 90an – bekerja di pabrik untuk sebagian berhasil mewujudkan sebagian mimpi mengangkat tingkat kehidupan yang lebih baiks, akan tetapi seiring dengan kebijakan pembangunan dan investasi yang dilengkapi dengan politik perburuhan yang lebih mengutamakan dukungan dan pelayanan terhadap modal, impian tersebut semakin sirna.

Modal besar dan asing adalah mantra bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Kedatangannya amat dirindukan dan untuk itu karpet merah dibentangkan menyambut kedatangannya. Kerinduan yang dalam terhadap modal asing telah membuat pemerintah tega menjual murah warganegaranya. Saat ini upah buruh di Indonesia adalah yang paling murah dibandingkan 10 negara ASEAN. Secara resmi pemerintah Indonesia melalui BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) menjual upah buruh hanya US$0.6 per jam (=Rp.5,400). Buruh di Filipina menerima upah 2 kali lipat (US$ 1.04), buruh Thailand dibayar hampir 3 kali lipat (US$1.63) dan buruh Malaysia menerima hampir 5 kali lipat (US$2.88).

Rendahnya upah menjelaskan mengapa keinginan kaum buruh industri – terutama di sektor manufaktur padat karya untuk pasar ekspor – untuk memperbaiki kehidupan dan menyumbang ekonomi desa, tak banyak terwujud karena alih-alih membawa pulang uang ke desa, yang terjadi justru warga desa mensubsidi industri melalui sumbangan pemenuhan kebutuhan hidup buruhnya yang tak dapat dipenuhi oleh upah yang diterima. Kisah-kisah buruh di kota yang bersandar pada pengiriman beras dan bahan makanan dari keluarga di desa dan menitipkan anak untuk diasuh nenek-kakek di desa adalah contoh dari subsidi desa terhadap roda industrialisasi.

Upah minimum di Indonesia saat ini berada dalam kisaran Rp. 700,000 hingga Rp. 1,800,000 per bulan. Upah ini hanya dapat membayar sekitar 60% dari pengeluaran riil buruh. Bagaimana memenuhi kekurangannya? Mengandalkan bantuan keluarga, masuk dalam lingkaran hutang (dengan menjaminkan status sebagai buruh tetap dan THR) dan melakukan penghematan pengeluaran adalah beberapa cara yang umum dilakukan.

Gelombang neoliberalisme tidak ketinggalan menelan buruh pabrik dan mengantarkan mereka ke kondisi kerja yang semakin tidak pasti dan tidak terlindungi. Melalui kebijakan pasar kerja fleksibel – yang memudahkan merekrut dan memecat buruh – keamanan dan kepastian kerja di sektor formal diubah menjadi kekhawatiran dan ketidakpastian kerja. Kebijakan ini sebanyak mungkin mengurangi buruh tetap dan menggantinya sebanyak mungkin dengan buruh kontrak, buruh lepas, buruh harian dan buruh outsourcing (buruh yang direkrut dengan perantaraan agen tenaga kerja).

Status-status hubungan kerja nontetap menjadi ciri baru hubungan kerja di pabrik dan menciptakan angkatan kerja yang galau dan gelisah serta harap-harap cemas terhadap kelangsungan kerjanya. Mereka pula siap bersaing dengan sesamanya dalam sebuah perlombaan menuju ke dasar : bersedia bekerja di pabrik dengan upah yang paling murah demi tetap dapat bekerja. Status-status buruh nontetap berimplikasi langsung terhadap penerimaan upah. Penelitian AKATIGA dua tahun lalu menemukan bahwa buruh outsourcing menerima upah 26% lebih rendah dibandingkan buruh tetap.

Status-status hubungan kerja nontetap di pabrik menunjukkan sebuah adopsi pola hubungan kerja di sektor informal dan di sektor pertanian yang diterapkan di sektor formal. Kondisi ini menunjukkan bagaimana sektor formal tidak lagi dapat diandalkan ciri keterlindungan dan kepastian kerjanya. Lebih dari itu kebijakan pasar kerja fleksibel juga menerapkan system kerja bergiliran dan dalam jangka waktu pendek yang menyebabkan buruh semakin tidak jelas kesempatan kerja dan berpenghasilannya.

Dalam kondisi semacam ini sektor industri tidak dapat lagi dijadikan jalan keluar kemiskinan di desa tetapi hanya menyediakan kemiskinan dalam bentuk lain. Jika dalam kebijakan pembangunan desa dan kebijakan pertanian yang berorientasi pada skala besar dan padat modal petani kehilangan hak kepemilikan dan akses terhadap tanah, di sektor industri dengan orientasi skala besar dan padat karya buruh kehilangan hak terhadap pekerjaan yang layak dan jaminan kepastian kerja. Akibatnya jelas: ibarat munculnya jalan bebas hambatan yang menghubungkan kemiskinan di desa dengan kemiskinan di kota – kemiskinan agraria dan kemiskinan buruh.

Berbagai studi agraria dan perburuhan menunjukkan bahwa situasi kemiskinan ini semakin merisaukan. Karena itu kita perlu memperkuat barisan untuk mampu mengaitkan dua wajah kemiskinan tersebut dan membangun kerangka analisis yang komprehensif dalam rangka menyumbang gagasan kritis dan konstruktif terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan, demi menyelamatkan Indonesia.

Ditulis Oleh: Indrasari Tjandraningsi

Sumber : akatiga.org

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *