Kemiskinan Struktural

Berita yang dirilis oleh berbagai media di Aceh mengenai rendahnya daya serap anggaran pembangunan di Aceh pada tahun 2009 membuat kita sebagai masyarakat awam sulit percaya, terutama kepada para pemimpin Aceh yang telah terpilih secara demokratis dimasa yang sudah damai. Betapa tidak hampir diakhir tahun 2009, daya serap APBA sebesar 9,7 triliun baru dapat dihabiskan masih dibawah 50% dari total anggaran yang tersedia. Sementara disisi lain, berbagai berita miris mengenai persentase rakyat miskin terus meningkat, jalan berlobang dan berlumpur juga terus bertambah, anak-anak sekolah di daerah terpencil masih harus menyebrangi sungai dengan kabel baja karena tanpa ada jembatan, belum lagi pelayanan air bersih dan listrik yang terus mati, rakyat juga masih sulit mendapatkan akses pelayanan kesehatan, pendidikan dan pekerjaan yang layak, sehingga pengangguran terus bertambah.

Kondisi seperti ini menyebabkan rakyat sulit melepaskan dirinya dari kemiskinan, karena sulitnya kesempatan serta lemahnya kemampuan dan komitmen penguasa dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Kemiskinan itu terjadi tidak hanya karena ketidakmampuannya tapi juga kesempatan untuk merubah kehidupannya kearah yang lebih baik juga sangat sulit, karena ketidakmampuan pemerintah dalam membuka peluang kerja bagi mereka. Seperti diungkapkan oleh Joel Hellman, dalam laporan yang dirilis oleh World Bank mengenai pembangunan di Aceh, bahwa “sumber-sumber dana untuk pembangunan sudah sangat cukup untuk mengangkat mayoritas penduduk Aceh dari kemiskinan jika hal tersebut dibelanjakan dengan bijaksana.”

Harus diakui bahwa ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan bagi masyarakat bukan karena disebabkan oleh kekurangan sumber dana untuk pembangunan, karena dana untuk memenuhi kebutuhan rakyat itu berlimpah dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Namun ketidakmampuan pada sumber daya manusia yang mengelolanya yang mengakibatkan kemiskinan terus menerus dialami oleh rakyat. Seperti yang pernah ditulis oleh peraih hadiah Nobel ekonomi dari India, Amartya Sen (Development as Freedom, 1996), “kelaparan dan kemiskinan di negara berkembang terjadi bukan karena tidak tersedianya bahan makanan, tetapi karena masyarakat tidak memiliki kebebasan dalam memperoleh akses itu”. Akibatnya, masyarakat kemudian terjebak pada “ketidakberuntungan ganda” (coupling disadvantage) antara kemiskinan dan hilangnya hak-hak sosial, politik dan ekonomi mereka.

Kebebasan memperoleh akses pada terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat sebenarnya juga bisa terwujud melalui kerangka demokrasi yang sehat. Sebab, hanya dengan demokrasi yang sehat yang bisa membuka akuntabilitas bagi pelaksanaan sebuah pembangunan. Akan tetapi, hal itu hanya menjadi ironi belaka ketika diletakkan pada konteks Aceh pada khususnya dan Indonesia umumnya. Demokrasi di Indonesia hanya sampai pada tataran prosedural, belum menyentuh substansi demokrasi. Artinya, secara substansi, seharusnya lembaga-lembaga pemerintah yang berhubungan langsung dengan masalah pembangunan dalam rangka mengurasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, dengan berbagai pembangunan dalam segala sektor, menyeluruh dan berjangka panjang, bukan justru sebaliknya.

Bencana Pembangunan

Jika konsep sebuah konsep pembangunan dilakukan tidak menyeluruh, atau pembangunan setengah jadi, maka yang terjadi bukanlah memberikan mamfaat bagi rakyat, namun yang terjadi adalah mudharat. Hal ini seperti terjadi dalam berbagai pembangunan yang akhirnya terbengkalai karena ditinggalkan oleh pekerjanya. Jika suatu proyek harus dihentikan karena alasan sistem dan procedural anggaran, maka yang terjadi adalah bencana. Sebuah contoh kecil saja, pembangunan jalan yang sedang dikerjakan, kemudian harus dihentikan, maka akibatnya kemudian adalah yang ada hanya tumpukan pasir, batu dan tanah gunung yang terbengkalai diruas jalan yang ditinggalkan sebelum diselesaikan, kerena proyek yang sedang dikerjakan itu harus dihentikan karena matinya anggaran. Hal ini seperti diungkapkan oleh Husni Bahri TOP seperti di rilis oleh Serambi Indonesia 13 November 09 mengatakan, “selain proyek multi years, untuk tahun 2009 tidak ada proyek yang dilanjutkan jika tak selesai pada akhir tahun”. Kondisi seperti ini, pastinya membuat tumpukan tanah itu menjadi lumpur dimusim hujan, dan menjadi gumpalan debu dimusim kemarau.

Konsep pembangunan seperti ini kelihatannya tidak bedanya dengan konsep perang gerilya, yaitu suatu konsep yang sasarannya “dilakukan” tanpa arah, tidak penting sempurna atau tidak, yang penting adalah adanya serangan dengan cepat dan meninggalkan akibat, baik akibatnya kecil atau besar. Konsep ini kemudian dikenal dengan konsep “hit and run”, yaitu menyerang dan lari. Kena sasaran atau tidak, menjadi tidak penting dalam sistem perang ini.

Begitulah jika konsep pembangunan dilakukan dengan mengunakan konsep gerilya. Tidak penting apakah sebuah proyek itu selesai dilaksanakan atau tidak, tepat sasaran atau tidak, dibangun sempurna atau terbengkalai, begitu juga tidak penting apa dapat dimamfaatkan oleh rakyat atau tidak. Yang penting adalah adanya suatu “propaganda pembangunan”.

Propaganda pembangunan ini pada akhirnya akan menciptakan kelas baru dalam sistem ekonomi dan social kemasyarakat. Hal ini karena sasaran pembangunan tidak berorientasi kepada mewujudkan kesejahteraan rakyat, melainkan hanya pada orientasi pada penghabisan anggaran dengan seribu macam cara. Apalagi untuk mendapatkan suatu proyek pembangunan dari anggaran Negara biasanya dilakukan dengan berbagai triks dan instrik. Pemenang proyek biasanya juga harus menyetor fee kiri-kanan, karena bagi mereka yang jujur sering kali katanya tidak diproses berkasnya oleh pihak panitia pemengang proyek. Meskipun claim itu sulit dibuktikan, tapi sudah menjadi rahasia umum dalam dinamika pengurusan sebuah proyek pembangunan dari dana Negara. Jadi dapat dibayangkan jika dari awal saja sudah seperti ini, maka pembangunan yang dilakukan juga menjadi asal-jadi. Sehingga tidak heran jika setiap jalan dari dana pemerintah, tidak akan bertahan lebih dari satu tahun, dan setelah itu hancur lagi.

Kemiskinan Struktural

Konsep pembangunan seperti ini, menyebabkan beberapa daerah terpencil tidak pernah merasakan jalan beraspal atau sarana dan prasarana lainnya. Desa Lataling misalnya, sebuah desa di Kecamatan Teupah Selatan Simeulu, hampir seumur bangsa Indonesia ini, tidak pernah melihat dan merasakan adanya jalan beraspal, listrik, telpon,dll. Selama ini akses kedunia luar hanya mengunakan perahu kecil. Namun jika cuaca alam tidak mendukung, maka mereka hanya akan terkurung dalam keterpencilannya. Hal ini disebabkan kerena pembanguna tidak pernah sampai kesana. Akibatnya jika ada hasil hutan dan pertanian lainnya, menjadi sangat sulit bagi mereka untuk menjualnya. Karena tidak adanya akses yang disediakan oleh Negara bagi mereka. Hal inilah yang menyebabkan kemiskinan terus menjadi fenomena social disana.

Kemiskinan struktural adalah sebuah kemiskinan yang hadir dan muncul bukan karena takdir, bukan karena kemalasan, atau bukan karena karena keturannya miskin. Namun kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang muncul dari suatu usaha pemiskinan. Pemiskinan yang dilakukan oleh sebuah sistem Negara. Para pakar strukturalis menyatakan bawah kemiskinan ini timbul karena adanya hegemoni dan karena adanya kebijakan negara dan pemerintah atau orang-orang yang berkuasa, dimana orang yang termarjinalkan semakin termarjinalkan saja.

Harus diakui bahwa siapa pun tak ada yang menghendaki dirinya bodoh, terbelakang dan miskin. Setiap manusia berharap bisa hidup berkecukupan dan tak terbelakang. Namun, dalam realitas harapan tersebut terkubur dan kandas oleh kondisi yang memaksa.

Secara sosiologis, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan ditentukan oleh tiga faktor; yakni kesadaran manusia, struktur yang menindas, dan fungsi struktur yang tidak berjalan semestinya. Dalam konteks kesadaran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan biasanya merujuk pada kesadaran fatalistik dan menyerah pada “takdir”. Suatu kondisi diyakini sebagai pemberian Tuhan yang harus diterima, dan perubahan atas nasib yang dialaminya hanya mungkin dilakukan oleh Tuhan. Tak ada usaha manusia yang bisa mengubah nasib seseorang, jika Tuhan tak berkehendak. Kesadaran fatalistik bersifat pasif dan pasrah serta mengabaikan kerja keras.

Faktor penyebab lain yang menyebabkan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan karena otoritas struktural yang dominan. Kemiskinan, misalnya, bisa disebabkan oleh ulah segelintir orang di struktur pemerintahan yang berlaku tidak adil atau tidak mahir dalam mengelola amanah sebagai pemimpin. Kemiskinan yang diakibatkan oleh problem struktural disebut “kemiskinan struktural”. Yaitu kemiskinan yang sengaja diciptakan oleh kelompok struktural untuk tujuan-tujuan politik tertentu.

Persoalan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan juga disebabkan karena tidak berfungsinya sistem yang ada. Sebab orang-orang yang berada dalam sistem tidak memiliki kemampuan sesuai dengan posisinya. Akibatnya sistem berjalan tersendat-sendat, bahkan kacau. Kesalahan menempatkan orang tidak sesuai dengan kompetensinya (one man in the wrong place) bisa mengakibatkan kondisi bangsa ini menjadi fatal.

Pada umumnya kemiskinan yang menimpa masyarakat disebabkan oleh kekeliruan sistem, dalam hal ini peranan penguasa negara. Selama ini, kebijakan ekonomi pemerintah bertumpu pada pertumbuhan ekonomi bukan pada distribusi ekonomi. Sehingga meskipun berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah gagal mengurangi kesenjangan apalagi menciptakan distribusi ekonomi yang adil.

Muhammad SAW, Nabi terbesar sepanjang masa, pernah bersabda jangan sekali-kali memperlakukan orang yang terdzalimi, orang yang kesusahan, orang yang melarat dan orang yang miskin, sebab doa orang-orang tersebut sangatlah mustajab dan didengar oleh ALLAH SWT. Namun kemiskinan struktrual sudah merenggut itu semua, kemiskinan struktural sudah menggurita dan menjadikan orang miskin semakin menggerang kesakitan dengan kemiskinannya, seraya tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengentaskan kemiskinan.

Karl Marx juga pernah menulis bahwa jangan pernah meremehkan orang-orang miskin, sebab dari mereka amarah bisa menggelegak menjadi sebuah revolusi sosial, revolusi yang dipelopori oleh orang-orang miskin yang akan membumi hanguskan kaum-kaum “berjois baru” yang selama ini menempatkan orang miskin menjadi semakin miskin.

Diakhir tulisan ini, saya ingin mengutip sebuah kata dari seorang sahabat, bahwa penindasan yang paling kejam dan hina dapat menciptakan suatu perdamaian, akan tetapi perdamaian tidak pernah dapat diciptakan dari masyarakat yang miskin dan lapar.

Sumber : fahmiatjeh.blogspot.com

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *