PILKADA DAN REPRESENTASI PEREMPUAN

SAPA INDONESIA – PILKADA serentak tahun 2017 hanya diikuti 46 kandidat perempuan. Padahal, berdasarkan data KPU, total kandidat ada 662 orang.

Ini berarti hanya sekitar 6,9 persen perempuan yang akan berpartisipasi di dalam kontes perebutan jabatan kepala daerah tahun ini. Sebuah angka yang sangat memprihatinkan mengingat jumlah populasi perempuan mencapai 128 juta jiwa, atau sekitar 49,2 persen dari total penduduk Indonesia.

Fenomena ini bukan khas pilkada. Secara umum, tingkat partisipasi dan representasi perempuan Indonesia dalam politik memang tergolong rendah, baik di level eksekutif maupun legislatif. Pada Pemilu 2014, misalnya, hanya menghasilkan 97 anggota perempuan di DPR dari total 560 kursi yang tersedia. Angka ini, lagi-lagi, sangat memprihatinkan dan sekaligus ironis.

Memprihatinkan karena angka tersebut adalah penurunan dari jumlah perempuan anggota DPR periode 2009-2014 yang mencapai 103 orang. Ironis karena pemerintah sebetulnya telah mengadopsi kebijakan afirmasi yang mewajibkan partai politik memperhatikan tingkat keterwakilan perempuan minimal 30 persen di parlemen.

Kesenjangan tingkat keterwakilan antara laki-laki dan perempuan ini kemudian tecermin pada produk-produk hukum yang dihasilkan. Komnas Perempuan, misalnya, mencatat ada 342 peraturan daerah (perda) yang diskriminatif terhadap perempuan.

Perda-perda itu umumnya mengatur soal bagaimana perempuan harus berpakaian, pemisahan ruang publik, dan penerapan jam malam. Di tingkat legislatif, UU yang dihasilkan juga tidak kalah diskriminatif. Salah satu contoh adalah UU No 44/ 2008 tentang Pornografi yang terkesan mengkriminalkan tubuh perempuan.

Ada banyak alasan tingkat partisipasi dan representasi perempuan Indonesia di dalam politik begitu rendah. Namun, di dalam konteks pemilu, penyebab utama biasanya terletak pada sikap dan perilaku partai. Kebanyakan parpol cenderung lebih mendahulukan kandidat laki-laki.

Kecenderungan ini bisa jadi disebabkan oleh dua faktor. Pertama, kandidat laki-laki lebih banyak mendulang suara sehingga memperbesar kemungkinan partai memenangi pemilu (kecuali jika kandidat perempuan adalah selebritas atau tokoh publik yang sudah lebih dulu terkenal). Kedua, partai tidak memiliki suplai kader perempuan memadai. Ini terjadi karena partai tak punya mekanisme perekrutan anggota yang inklusif dan terbuka.

Dua faktor ini menunjukkan tingkat partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik bisa ditingkatkan apabila kita bisa mengubah paradigma dan perilaku partai jadi lebih terbuka terhadap kelompok perempuan. Salah satu cara adalah dengan meregulasi pendanaan politik.

Subsidi dana partai

Mau tidak mau kita harus mengakui uang berperan penting dalam politik. Tanpa uang tidak akan ada kampanye. Tanpa uang tidak akan ada penyelenggaraan pemilu. Uang adalah salah satu kekuatan pendorong yang membuat segala kontestasi politik jadi mungkin. Bahkan, bagi sebagian politisi, uang mungkin satu-satunya alasan mengapa mereka terjun ke dunia politik.

Itulah sebabnya regulasi pendanaan politik menjadi penting. Jika dilakukan dengan cermat, regulasi pendanaan politik dapat digunakan sebagai alat untuk memaksa partai berbenah diri, termasuk memperbaiki sikap dan kebijakan internal terhadap partisipasi perempuan.

Ada banyak cara memengaruhi perilaku partai melalui desain regulasi pendanaan. Salah satunya adalah dengan kebijakan pemberian subsidi dana partai.

Sejak dua dasawarsa terakhir, kebijakan pemberian subsidi dana partai menjadi kebijakan yang populer di negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Eropa. Hal ini disebabkan semenjak dekade 1990-an, partai politik berubah dari organisasi massa ideologis jadi sekadar instrumen perebut kekuasaan yang dananya disokong segelintir elite (Nassmacher, 2014).

Akibatnya, orientasi politik partai tidak lagi merujuk pada kemaslahatan masyarakat, tetapi hanya melayani kepentingan kelompok-kelompok elite yang menjadi donatur mereka. Oleh karena itulah, negara wajib meminimalisasi ketergantungan partai politik terhadap kelompok elite ini dengan memberikan dana subsidi kepada partai.

Pada praktiknya, subsidi dana partai juga berguna untuk memengaruhi perilaku partai terhadap isu-isu tertentu, misalnya soal partisipasi perempuan. Pemerintah Perancis, misalnya, akan mengurangi jumlah dana subsidi kepada partai-partai yang tidak memenuhi persyaratan kesetaraan jender (disebut sebagai the parity rule) sebagaimana tercantum di dalam UU pemilu.

“Ancaman legal” ini terbukti efektif meningkatkan partisipasi kandidat perempuan dalam pemilu. Semenjak regulasi tersebut diterapkan pada 2000, jumlah anggota parlemen perempuan naik hingga dua kali lipat. Regulasi semacam ini kemudian diadopsi juga oleh Portugal, Albania, dan Irlandia.

Metode yang agak berbeda diterapkan Georgia. Di Georgia, dana subsidi justru dimanipulasi sebagai insentif, bukan ancaman. Pemerintah Georgia akan menambahkan subsidi partai sebesar 10 persen jika partai mengusung minimal 20 persen kandidat perempuan dalam pemilu parlementer.

Cara ini kemudian terbukti ampuh mendorong partai-partai kecil dan oposisi untuk mengusung banyak kandidat perempuan. Sayangnya, partai-partai besar dan kaya mengabaikan insentif tersebut karena sejak awal mereka tidak membutuhkan tambahan sokongan finansial dari pemerintah.

Pemerintah Indonesia bisa meniru regulasi-regulasi semacam itu untuk meningkatkan partisipasi dan keterwakilan perempuan. Langkah pemerintah mengadopsi kebijakan afirmasi di dalam UU Pemilu memang sudah baik. Namun, harus diingat, regulasi tidak bisa berdiri sendiri. Harus ada keterkaitan antara regulasi satu dan yang lain agar penerapannya bisa efektif. Pemerintah juga harus memberikan semacam insentif dan disinsentif bagi subyek hukum agar mereka mematuhi regulasi yang telah ditetapkan.

Persepsi publik

Sayangnya, masyarakat tampak tak rela jika pemerintah memberikan subsidi dana bagi partai politik. Pemerintah telah beberapa kali mengusulkan kenaikan subsidi dana parpol, tetapi selalu menghasilkan polemik di masyarakat. Terakhir, usulan semacam ini datang dari Kementerian Dalam Negeri, tetapi dibatalkan karena mendapatkan penolakan dari sejumlah pihak.

Untuk itu, pemerintah harus merumuskan metode sosialisasi dana parpol yang tepat kepada masyarakat. Pemerintah juga bisa menyiasati pemberian dana parpol dengan memberikan bantuan subsidi nontunai, misalnya membiayai ongkos kampanye dan kegiatan operasional partai.

Sejatinya, isu kesetaraan jender dalam politik memang bukan persoalan mudah diatasi, apalagi di tengah masyarakat yang didominasi budaya patriarki seperti Indonesia. Untuk itulah pemerintah harus mengerahkan segenap wewenangnya guna mengatasi persoalan tersebut.

Pemerintah harus ingat bahwa demokrasi pada hakikatnya membutuhkan kemajemukan dan inklusivitas. Demokrasi harus mampu menampung suara dan kepentingan, bahkan dari kelompok yang paling terpinggirkan, agar dapat disebut demokrasi hakiki. Di sinilah letak signifikansi isu kesetaraan jender.

Oleh: DJOHAN RADY

Peneliti di Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi

Terkait lainnya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *